Skip to content
GARDA BAJAGA

LEBIH DEKAT DENGAN GARDA BAJAGA

Garda Baku dan Jaga (Bajaga) tidak sekadar langkah, tetapi sebuah perisai gagah dalam perlawanan terhadap Human Trafficking. Dengan menggalang kerjasama, menyebarkan pengetahuan, dan melaksanakan tindakan nyata, Garda Bajaga bukan hanya potensi, melainkan pahlawan utama yang berdiri di garis terdepan, melindungi masyarakat dari ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Fransiscus Go, sosok berpengaruh asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan inisiator luar biasa di balik Garda Bajaga. Gerakan ini berasal dari kekhawatiran yang dirasakan oleh Fransiscus Go terhadap praktik perdagangan orang yang terjadi di wilayah NTT khususnya dengan berkedok sebagai penyalur Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri.

TESTIMONI

APA KATA MEREKA TENTANG GARDA BAJAGA

Saya Mendukung Gagasan Fransiscus Go Untuk Membentuk Garda Bajaga melawan Human Trafficking atau perdagangan orang yang merupakan tindak pidana serius karena melibatkan eksploitasi fisik, psikologis, dan finansial terhadap individu yang rentan. Gerakan melawan perdagangan orang sangat penting untuk menjaga martabat manusia dan melindungi hak asasi manusia.

IMG_20230825_221329

Ferdinandus Wali Ate

Ketua Umum Komunitas Literasi Nusantara (KLN)

Garda Bajaga ini sebagai simbol kepedulian terhadap warga Nusa Tenggara Timur, yang menjadi korban tindakan perdagangan orang. Tentu dengan adanya wadah ini, akan semakin masif mengedukasi, sosialisasi dan aksi nyata di tengah masyarakat.

TESTIMONI GARDA BAJAGA

Richard

Ketua Umum Gerakan Mahasiswa (Gema) NTT Bogor Raya

APA ITU BAJAGA?

Ini istilah baru yang bisa Fransiscus Go usulkan sebagai jalan untuk melawan praktek perdagangan manusia. “Bajaga” berasal dari dua kata, yakni “baku” dan “jaga”. “Baku jaga” berarti saling menjaga. Kiranya orang NTT akan segera tahu maksud dari “Bajaga” ini. Saling menjaga menjadi kesadaran yang penting dalam hidup bersama di masyarakat. Selain dalam kesadaran, saling enjaga tersebut bisa diwujudnyatakan dalam tindakan bahkan diragakan secara institusional.

Maksudnya ialah berhadapan dengan praktek terselubung perdagangan manusia, peran serta yang diharapkan bukan hanya datang dari pemerintah atau aparat penegak hukum. Juga tidak bisa jika menunggu ketika ada kasus baru diusut, sementara korban sudah berjatuhan. “Bajaga” memaksudkan fungsi saling menjaga sesama warga masyarakat, utamanya terkait bahaya human trafficking yang ada di lingkungan sekitar. Mulai dari lingkup yang kecil di RT dan RW misalnya. “Bajaga” ialah program 24 jam untuk mengawasi dan memastikan keamanan, juga orang keluar masuk lingkungan.

Kepedulian terhadap Keselamatan Manusia Bukanlah hanya Tugas Individu, tetapi Merupakan Tanggung Jawab bersama Kita sebagai Masyarakat yang Peduli

– FRANSISCUS GO

GARDA BAJAGA

“Bajaga” hadir sebagai upaya yang sadar dari semua elemen untuk pertama-tama melihat celah-celah, bahaya – bahaya dan intrik perdagangan manusia. Kemudian setelah mensinyalir adanya potensi bahaya tersebut, Tim “Bajaga” RT. X atau RW. Y misalnya, melaporkan ke polisi dan minta penanganan. Untuk ini tentu diperlukan pelatihan-pelatihan inteligen juga.

Singkatnya, jika ingin serius memberantas kasus perdagangan manusia di NTT, semua elemen masyarakat mestinya dilibatkan. Penulis sebagai yang sangat prihatin sekaligus peduli dengan problem ini mengusulkan “Bajaga” sebagai langkah taktis dan strategis yang bisa diterapkan di seantero NTT. Dengan demikian hidup semakin baik dan tidak ada lagi orang yang termakan asupan jempol hingga akhirnya celaka karena kurang daya kritis dan sifat buruk agen – agen penyelundup tenaga kerja ilegal. 

Gagasan “BAJAGA” Sebagai Langkah Melawan Perdagangan Manusia Di NTT. Melibatkan Masyarakat dalam Menjaga Lingkungan dengan Mekanisme Ronda/Pecalang. Dari sini lah, Fransiscus Go (Direktur YFMG) Mengambil Tindakan Nyata dengan “BAJAGA”.

Mekanisme “Bajaga” bisa dengan menghidupkan ronda atau seperti jaman dahulu hansip-hansip yang memang bertugas untuk melindungi masyarakat kalau kalau ada orang luar yang datang dengan intrik-intrik perdagangan manusia. Mungkin orang-orang dalam program “Bajaga” ini bisa dipadankan dengan pecalang-pecalang di Bali.

Mereka bisa ditugaskan oleh ketua RT dan RW, atau bahkan diberikan SK khusus dari bupati atau gubernur, mengingat peran sentral mereka sebagai ujung tombak pengamanan. “Bajaga” bisa menjadi program Provinsi NTT yang serius hendak menghilangkan praktek perdagangan manusia. Lebih dari itu, program tersebut bisa dijadikan instruksi gubernur dan disosialisasikan ke tingkat yang paling rendah untuk dilaksanakan.

Ketika secara serempak dan massif dijalankan, “Bajaga” sudah bukan lagi program pemerintah melainkan kebanggaan masyarakat NTT dalam menunaikan kebaikan dan menjaga keselamatan, tanggungjawab semua orang. Di samping tentu saja pemerintah berupaya untuk meretas kemiskinan dengan terobosan-terobosan bidang ekonomi

SALING MENJAGA MENJADI KESADARAN PENTING DALAM HIDUP BERSAMA DI MASYARAKAT. ‘BAJAGA’ MEWAKILI UPAYA KOLEKTIF MELAWAN PERDAGANGAN MANUSIA DENGAN MELIBATKAN SEMUA ELEMEN MASYARAKAT, DARI TINGKAT RT HINGGA INSTITUSIONAL.