Skip to content

Bekerja Seharusnya

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]

Pagi masih disekap kabut. Matahari pun masih belum tampak di ujung timur. Dingin 12 derajat celcius menusuk kulit. Noto mulai bergegas. Mengandalkan ketajaman matanya, lelaki berusia 45 tahun itu melawan titian terjal berbatu sepanjang 3 kilometer dengan kemiringan 60 derajat. Ribuan hari telah ia lewati lokasi inu Perjalanan menuju dapur Solfatara di Kawah Ijen, demi menambang belerang. Tiba di dapur Sulastri, salah satu dapur Solfatara di Kawah Ijen, Noto mulai mencongkel belerang padat dengan menggunakan linggis. Setelah memastikan pipa terhindar dari panas, selanjutnya ia mengangkat belerang di tengah asap yang memedihkan mata dan menyesakkan paru-paru. Tidak ada perlindungan memadai. Sebuah kain lusuh yang dibasahi air dibalutkan di wajahnya sekadar menutup hidung dan mulut, mengurangi kadar asap belerang masuk ke dalam tubuh.

Noto meletakan dua bongkahan besar belerang di keranjang bambu dan menambahkannya dengan beberapa bongkahan kecil. Setelah penuh, ia memikulnya ke bawah, kembali menelusuri jalanan terjal berliku menuju tempat pengepul.

“Pak Noto…” teman senasibnya menyapa singkat ketika mereka berpapasan

“Ya Har…” balas Noto tak lebih panjang. Harsono usianya lebih muda, mungkin sekitar 25 tahun. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia berencana bekerja dua rit atau dua kali bolak-balik. Dari dua kali menambang dengan beban puluhan kilogram belerang yang haru dipikul sepanjang 3 kilometer, paling banter Noto mengantungi 75 ribu rupiah. “Pernah dapat sampai 100 ribu, tapi itu dulu, sekarang tambah tua, tidak kuat lagi,” katanya. Risiko sakit paru-paru akibat paparan zat belerang dan kecelakaan yang bisa merenggut hidup nyaris tak sempat dipikirkan Noto dan ratusan penambang lainnya. Hak hidup bagi mereka adalah hak bisa mendapatkan uang untuk makan keluarga hari ini dan sekadar untuk melanjutkan hidup.

Hak Hidup atau Sekadar Hidup?

Hak untuk hidup adalah hak dasar yang melekat pada diri setiap orang, tanpa kecuali, dari bayi sampai usia renta, dari presiden sampai jelata. Laki-laki, perempuan, transgender, penyandang difable, hingga mereka yang terbaring di rumah sakit dan masih bernapas berkat bantuan alat medis. Itu sebabnya, ketika hak hidup seseorang dirampas, dengan cara apa pun orang akan melawan dan mempertahankannya.

Untuk sebuah kehidupan, negara harus hadir. Negara memiliki kewajiban moral, sosial, ekonomi, dan hukum untuk melindungi hak hidup setiap warganya. Dalam hukum, hak hidup setiap warga negara dijamin sepenuhnya oleh Undang-Undang Dasar 1945. Hak itu kemudian dijabarkan dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan turunan lainnya. Melalui hukum, hak warga negara diwujudkan oleh aparatur negara yang diberikan kewenangan oleh negara.

Hal penting dalam kaitan dengan ketenagakerjaan adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan. Untuk pekerjaan ini, setiap warga negara mendapatkan hak hidup dan penghidupan yang layak. Tidak sekadar hidup tanpa jaminan dan tanggung jawab negara. Pada situasi yang dialami Noto, 45 tahun, dan Harsono, 25 tahun, serta ratusan penambang belerang di Kawah Ijen, juga kelompok-kelompok warga lainnya yang tidak lebih beruntung, kita boleh bertanya, di bagian mana negara atau pemerintah hadir menjalankan kewajibannya? Pada bagian mana juga, kita sebagai sesama hadir untuk mereka?

Sesungguhnya, negara harus bertindak menyiapkan lapangan pekerjaan bagi warganya, sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, pada level ini, tantangan negara menjadi sangat berat lantaran penggangguran menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Terus menggerogoti perekonomian. Ini berlangsung sejak Era Orde Baru hingga hari ini. Padahal, pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, para perumus UUD yang telah diamandemen, menyatakan dengan sangat tegas “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.

Jika perkerjaan dan penghidupan yang layak menjadi hak warga negara, lalu siapa yang berkewajiban menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak itu? Sebab, pada setiap hak pasti akan menimbulkan kewajiban, begitu juga sebaliknya. Kewajiban itu salah satunya ada di negara.

Salah satu wujud tanggung jawab ekonomi negara atas kehidupan masyarakat adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi setiap warga negara. Dengan demikian, warga negara dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai manusia, setidak-tidaknya cukup pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Namun, pada tataran ini, dari waktu ke waktu, pemerintah Indonesia tak putus menghadapi hambatan. Belum ada jalan keluar yang tepat untuk mengatasi masalah mendasar ini. Untuk lapangan pekerjaan yang menghasilkan kehidupan yang layak, sulit untuk mengatakan negara telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Jauh, bahkan sangat jauh.

***

Di Pasar Legi Solo, Gambyong dan beberapa perempuan kuli gendong lainnya berkumpul di depan kios yang sedang tutup. Salah satu buruh gendong sedang mengerok punggung sesama teman yang sedang masuk angin. Lainnya menunggu pelanggan, para pedagang dari berbagai kota. Di pasar Legi, Solo, sudah bertahun-tahun Gambyong mencari nafkah bagi keluarganya.

Sejam sebelumnya, Gambyong mengangkut dua karung bawang merah seberat 90 kilo. Bila ditumpuk, tinggi karung jauh melebihi tinggi badannya yang kini makin membungkuk. Untuk membawa dua karung penuh bawang merah dari dalam pasar ke truk di parkiran, Gambyong mendapat upah 8 ribu rupiah.

“Disyukuri saja, masih banyak yang nganggur,” katanya sambil tertawa ketika ditanya penghasilan. sehari-hari. Paling banter 50 ribu rupiah.

Ada juga beberapa wajah muda di antara mereka.

“Jadi buruh gendong sejak kapan?” pertanyaan ini ditujukan untuk Yanti, perempuan berusia sekitar 20 tahun. “Baru 6 bulan, tadinya pengin jadi buruh pabrik, tapi masuknya susah. Daripada nganggur, ya sudah, begini saja dulu”

***

Ada banyak kisah seperti buruh gendong Gambyong dan Yanti, serta penambang belerang Harsono dan Noto lainnya di negeri ini. Banyak pula tenaga kerja Indonesia yang memilih untuk menjadi tenaga kerja kasar di luar negeri, sekadar untuk menyambung nyawa. Para TKI mempertaruhkan kehidupannya dengan menjadi pekerja rumah tangga, tukang kebun, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Mereka menyadari adanya risiko atas nyawa karena tidak siap bekerja secara pantas dengan berbagai alasan. Namun, karena tidak ada pilihan lain, risiko kerap taksempat dipikirkan. Kini banyak tenaga kerja, bahkan tenaga kerja di bawah umur, ikut bertaruh hidup ke luar negeri menjadi buruh migran. Perusahaan-perusahaan jasa TKI terkadang secara sadar melakukan perbuatan melawan hukum dengan merekrut tenaga kerja yang secara usia belum dewasa. Antara tenaga kerja dan perusahaan jasa saling membutuhkan, meski sama-sama menghadapi risiko. Padahal, Pasal 28 D ayat 32 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Mungkin sebagian besar dari para pekerja migran ini tidak mengetahui keberadaan pasal itu.

Amanat UUD pun terpaksa “diabaikan” karena hak hidup menjadi pilihan utama. Hak-hak lain yang menyertai hak hidup sering diabaikan karena negara tidak sanggup memberikan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Akhirnya, setiap orang harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hak hidup, meski mempertaruhkan nyawanya.

Berita Terkait

TERKINI