Skip to content

Buruh Impor

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Fransiscus Go dan Hani Subagio [diambil dari buku Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah]

Daniel Smith sedang menikmati semangkok mi ramen, di Kuningan City, Jakarta Selatan. Lelaki berkewarganegaraan Inggris itu sudah biasa makan siang di tempat itu. Di sebelahnya, Christian Hazler dari Austria dan Kim Bun dari Korea Selatan juga melahap menu yang sama siang itu. Di restoran lain tampak beberapa ekspatriat tengah melahap makan siang mereka. Setiap jam istirahat siang, di kawasan itu dengan mudah akan kita jumpai para ekspatriat di berbagai tempat makan. Sebagian melebur dalam meja yang sama dengan para pekerja lokal berdasi.Pemandangan serupa hadir di hampir semua pusat-pusat perkantoran di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Para ekspatriat itu bukan pebisnis yang sedang lunch sambil meeting untuk negosiasi bisnis, tetapi sedang menikmati lunch biasa, setelah se tengah hari bekerja. Ya, mereka adalah karyawan perusahaan di pusat- pusat perkantoran tersebut yang kebanyakan adalah perusahaan mul- tinasional atau perusahaan asing. Daniel Smith dan Christian Hazler bekerja untuk sebuah perusahaan shipping line multinational, sedangkan Kim Bun adalah karyawan dari perusahaan properti lokal. Sebagian besar dari pekerja ekspatriat menempati level atas, sebagian merangsek ke middle management yang sebelumnya diisi oleh sumber daya manusia SDM) lokal. Konon, ini adalah konsekuensi globalisasi ekonomi.

( Globalisasi ekonomi diadopsi banyak negara, setelah penyebarannya dipromosikan secara besar-besaran oleh lembaga internasional. Pelopor utamanya organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO), didukung Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan lembaga bisnis bantuan internasional, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Ada rentetan lain yang lantas mengikuti lahirnya “globalisasi ekonomi” ini. Semua negara menuntut warganya bergerak cepat, kalau perlu berlari sekencang-kencangnya demi meningkatkan kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia.

Gerak cepat itu pun harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Jika melambat sebentar saja, dipastikan langsung tertinggal. Ini semacam syarat mutlak agar negara pengikut globalisasi ekonomi bisa mengembangkan inovasi dan menciptakan efisiensi biaya sehingga negara mampu berkompetisi dalam persaingan dunia. Tak peduli harus ngos-ngosan, bahkan mungkin “merusak” tatanan tradisional. Banyak negara sering tak punya pilihan untuk tidak ikut. Tidak ikut berarti terkungkung dan miskin. Itu sebabnya, kelompok- kelompok anti-globalisasi, kerap kali kehabisan tenaga menghadapi kecepatan dampak globalisasi itu sendiri. Secara alamiah, gerakan anti- globalisasi seakan limbung dan habis napas karena udara yang beredar semuanya beraroma globalisasi.

Sifat lain globalisasi adalah mendorong perekonomian negara, tidak lagi bersifat nasional yang otonom, tetapi lebih didasarkan pada pasar global yang kuat dalam sistem produksi, distribusi, dan konsumsi. Selanjutnya, proses ini langsung diikuti migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antarnegara. Para investor punya dalih, investasi mereka di negara lain membutuhkan pengawasan secara langsung sehingga kelangsungan usaha dan investasi tetap terjaga. Akhirnya, tenaga asing menjamur di setiap negara tujuan investasi. Indonesia adalah salah satu yang terbesar. Tentu saja yang terjadi bukan sebatas urusan mengawasi, tetapi faktanya menyelusup di segala lini.

Kenyataannya, perdagangan bebas di bidang jasa, baik di forum in- ternasional, seperti WTO, APEC, maupun di forum regional, seperti ASEAN Free Trade (AFTA) dan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). menuntut penghapusan berbagai hambatan mobilitas tenaga kerja antarnegara anggota (pasar kerja bebas). Oleh karena itu, mau-tak mau kita harus menerima “aturan baru” rekrutmen perusahaan. Akhirnya, adalah pemandangan biasa, bila pada perusahaan Jepang akan bercokol warga Jepang, terutama pada posisi manajemen. Begitu juga perusahaan Korea, Amerika, Inggris, dan Australia. Ketika Eropa dan Amerika mengalami krisis tahun 2008, makin banyak tenaga asing masuk ke pasar kerja Indonesia. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi lahan subur bagi tenaga kerja asing pada era perdagangan bebas, jika tidak ada langkah-langkah strategis yang dilakukan untuk menghadapinya.

Karena tidak mungkin melarang masuknya tenaga kerja asing di era globalisasi maka pilihan yang tersisa adalah keharusan membina SDM lokal dalam berbagai aspek, terkait kompetensi. Hanya tenaga kerja yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Tenaga kerja yang kompeten akan memperoleh penghasilan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Produk yang dihasilkan pun bernilai tambah. Hal ini akan berkontribusi nyata bagi pembangunan bangsa.

Berita Terkait

TERKINI