Skip to content

Meretas Kemiskinan NTT

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Fransiscus Go

Kemiskinan itu ibarat kelumpuhan yang membuat manusia kian terpuruk. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup miskin. Ada yang mengatakan bahwa, “saya tidak hendak menjadi kaya, tetapi lebih kepada berkecukupan”. Hidup yang sejahtera dirindukan oleh setiap orang, sebab dengan kesejahteraan dimungkinkanlah pemenuhan cita-cita dan niat-niat lain seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Sebagai masalah dalam ranah ekonomi, kemiskinan ingin diretas dengan menimbang berbagai aspek yang mengitari konteks daerah tertentu, sembari menyadari peran serta pemerintah dalam pemerataan pembangunan. Tinjauan atas kemiskinan NTT rasanya kian relevan.

Kemiskinan NTT

Berdasarkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga di setiap keluarga NTT pada triwulan III 2020, terjadi perlambatan pertumbuhan sebesar 2,38 persen, menurun dibandingkan periode sama pada 2019 yang tumbuh sebesar 4,58 persen. Konsumsi masyarakat yang menurun mengindikasikan bahwa kemampuan masyarakat untuk membeli barang semakin menurun.

Berdasarkan prinsip ekonomi, rendahnya daya beli merupakan akibat dari kelangkaan (scarcity). Kelangkaan ini bukan karena barangnya tidak ada, melainkan oleh lemahnya kemampuan masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa di satu sisi, keengganan penyedia barang dan jasa untuk melepas ke pasaran serta mematok harga yang rendah kepada konsumen di sisi lain. Hal ini terjadi salah satunya disebabkan oleh jumlah penduduk miskin yang meningkat.

Berdasarkan penghitungan data Badan Pusat Statistik di NTT pada September 2020 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin 44,07 ribu orang dibandingkan September 2019, menjadi 1,17 juta penduduk miskin. Angka ini menempatkan NTT pada peringkat 3 sebagai provinsi termiskin di Indonesia.

Kontribusi Industri

Potret kemiskinan biasanya kerap disandingkan dengan ironi kemajuan industri. Betapa tidak, bisa dipastikan tidak sedikit perusahaan yang berpijak di tanah NTT. Terlepas dari jargon CSR [Corporate Social Responsibility] yang kerap hanya menjadi penghias bibir, kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut kesannya belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Malahan yang justru terjadi ialah bahwa industri korporat yang ada tidak dimonitor untuk menunaikan tugas sosialnya. Sementara hasil alam dikeruk, orang lokal menggigit jari. Pantauan atas industri geothermal akhir-akhir ini misalnya menunjukkan bahwa potensi panas bumi di NTT, Maluku dan Maluku Utara terbagi ke dalam beberapa sistem panas bumi dengan temperatur reservoir tinggi dan menengah. Nusa Tenggara Timur mempunyai potensi panas bumi yang cukup besar, yaitu sekitar 630 MWe pada kelas Sumber Daya dan 700 Mwe pada kelas cadangan yang tersebar di sekitar 24 lokasi. NTT panas bukan hanya karena moke, tetapi kini oleh industri ekstaktif yang tentu secara lugas gagal mendatangkan kesejahteraan masyarakat.

Kepada Siapa Berharap?

Jika ternyata tidak dimungkinkan untuk menggantungkan harapan kepada perusahaan-perusahaan besar apalagi industri ekstraktif, bukan hanya untuk konteks NTT tetapi juga daerah-daerah lain di Indonesia yang kiranya mengalami problem yang kurang lebih sama, maka perlu dicari jalan-jalan baru untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Sembari mengingatkan para pemangku jabatan pemerintahan yang memperoleh bagian dari penjualan lahan masyarakat kepada perusahaan [sebuah dinamika yang di satu sisi dibutuhkan oleh pemerintah mengingat perputaran modal oleh investor tetapi kerap jatuh menjadi agenda oportunis karena memang sangat menggiurkan] masyarakat lokal pun yang kiranya tidak banyak terdampak baik [bahkan lebih banyak buruknya sehingga menimbulkan banyak masalah sosial dan konflik dengan perusahaan] diharuskan memikirkan daya bertahannya sendiri. Ini tentu mendatangkan nuansa antipati pula dari masyarakat kepada para pejabat pemerintahan. Pada akhirnya, harapan itu bukan pada perusahaan industri dan pemerintah, tetapi kembali pada daya survive dari penduduk lokal masing-masing.

Kerjasama

Pemerintah pasti menyadari pula bahwa investor yang diundang, utamanya perusahaan raksasa multinasional merupakan motor perputaran uang pula untuk negara. Namun bagi masyarakat lokal, halnya tidak demikian. NTT pastilah tidak akan menjadi provinsi termiskin jika sungguh perusahaan tersebut berdampak besar. Kesadaran ini kiranya perlu diingatkan kepada pejabat pemerintahan agar sungguh memperhitungkan dampak sosiologis-ekologis di balik penerimaan dan pemberian ijin perusahaan, ketimbang hanya motif-motif uang yang memang ditawarkan supaya perusahaan bisa punya akses untuk mengeruk hasil alam dan mengontrol pasar.

Pendapatan daerah sesungguhnya bukan hanya dari perusahaan itu, tetapi terutama dari industri kecil dan menengah (yang kita kenal UMKM) yang memang digerakkan oleh masyarakat lokal. Tugas pemerintah adalah tidak boleh memandang sebelah mata secara picik kelemahan UMKM ini di satu sisi karena perputaran modal yang kecil , lalu memuja perusahaan industri besar di sisi lain karena sopoi-sopoi dan uang amplop yang mereka kerap tawarkan, berikut ijin dan bekingan yang bermain di baliknya. Mentalitas begini yang membuat NTT semakin miskin.

Pemerintah bukan tidak perhatian. Misalnya dana desa sejumlah 1 milliar rupiah hendaknya tidak dikorupsi di level provinsi dan kabupaten sehingga yang sampai hanya setengah atau seperempatnya saja. Dana tersebut ialah dana kemanusiaan, sebagaimana anggaran menurunkan stunting. Dana desa itu bisa diberdayakan sedemikian kreatif sehingga menghidupkan UMKM desa sehingga terbentuklah desa mandiri. Ketika desa sudah mempunyai produk unggulan, adalah tugas pemerintah pula untuk mendampingi dan mengatur alur distribusi dan penyediaan sentra-sentra penampung beriringan dengan pengembangan situs pariwisata. UMKM inilah yang justru ternyata membuat sejumlah besar masyatrakat tetap bertahan di masa krisis seperti pandemi, bukan perusahaan-perusahaan yang memilih untuk angkat kaki atau gulung tikar karena sudah puas mengeruk dan kini mulai kehilangan profit. Dalam bahasa metaforis, perusahaan-perusahaan itu ibarat pacat, sementara UMKM adalah kerbau. Kebijakan pemerintah menentukan kesejahteraan masyarakat NTT.

Mari su ketong baku jaga (hidup Bajaga)!

Berita Terkait

TERKINI