Skip to content

Soal Food State, Fransiscus Go: Jalan Wujudkan Ketahanan Pangan Bangun Masyarakat Sejahtera

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

NTT – Tokoh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Fransiscus Go menilai, program Food Estate, atau pengembangan pangan secara terintegrasi yang tengah digencarkan oleh pemerintah Indonesia merupakan upaya nyata dalam mewujudkan ketahanan melalui pemanfaatan lahan yang sudah lama tertidur, alias tidak produktif.

Menurutnya, pengelolaan lahan atau alam melalui peningkatan produksi pangan dengan melibatkan warga sekitar adalah bagian dari terbentuknya peradaban baru masyarakat yang visioner dalam mencapai kesejahteraan, serta memiliki kecintaan terhadap alam dan lingkungan sekitar.

“Pemerintah berupaya menjadikan food estate agar lahan yang luas dan tidur tersebut dapat menghasilkan. Nilai yang dihasilkan tidak berarti ekologis, melainkan mentalitas dan praktik di lapangan. Bagaimana menggapai kesejahteraan tanpa merusak alam? Modal awal ialah membangun peradaban cinta lingkungan hidup,” ujar Fransiscus Masuk dalam keterangannya, Kamis (18/4/2024).

Pria yang akrab disapa Frans itu menjelaskan, mengelola alam adalah panggilan manusia. Menurutnya, manusia tidak bisa hidup tanpa mengolah alam. Tetapi sistem dan cara pengolahan bagaimana menjadi penting. Pasalnya, kata Frans, jika manusia mengolah alam tidak sungguh-sungguh, berarti belum serius dan belum ekologis.

“Potret kemiskinan di daerah Indonesia, terutama wilayah timur merupakan hasil tata kelola alam yang belum optimal. Masih banyak lahan kosong yang dibiarkan tidur, tidak ditanami dan tidak dikelola untuk kesejahteraan,” katanya.

Pemerhati pendidikan dan ketenagakerjaan ini menjelaskan bahwa berbagai masalah iklim dan alam muncul lantara aksi manusia yang kurang. Menurut Frans, kesadaran akan kebersihan masih relatif jauh, dan perilaku mencemarkan masih bercokol dalam kehidupan bangsa ini.

“Orang membuang sampah sembarangan, menggunduli hutan, menciptakan udara, tanah dan laut yang tercemar. Alam yang rusak menunjukkan mental manusia yang juga rusak. Ada hal yang harus diubah dan diperbaiki,” sebutnya.

Alumni PPRA 49 Lemhannas RI ini menjelaskan, krisis pangan merupakan hasil dari dua krisis, yaitu krisis alam dan krisis manusia itu sendiri. Alam, kata Frans, selalu punya cara untuk menyeimbangkan dirinya (detoks), sementara manusia selalu mencari alasan sebagai pembenaran masalah.

Frans menuturkan bahwa manusia mengalami krisis ketika sudah jauh dari alam dan tidak menghargai alam. Ia menyebutkan, ini perihal pola pikir dan pola hidup, dimana fenomena alam menunjukkan bagaimana alam bertindak atas perlakuan terhadap manusia, atau dapat dikatakan bahwa tanda-tanda alam adalah tanda-tanda tentang manusia juga.

“Alam bersahabat berarti manusia juga bersahabat, alam marah berarti manusianya serakah. Keterkaitan ini penting karena tidak ada seorang pun yang ingin merusak dan melukai dirinya sendiri. Hanya manusia yang sering “membunuh diri” dengan melukai alam semesta,” tegasnya.

Pebisnis yang berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan ini mengatakan, Konsep dasar yang harus diterapkan adalah bahwa alam itu diri manusia dalam skala yang lebih luas. Menurutnya, Menghargai dan menghormati alam berarti menghargai dan menghormati diri sendiri. Konsepsi ini adalah dasar berpijak untuk ekologis.

Seruannya jelas, “kasihilah alam seperti mencintai diri sendiri”. Ini akan mendatangkan kebiasaan yang baik dalam kehidupan. Langkah-langkah konkret berikutnya baru bisa dilakukan, yaitu menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan dari skala terkecil rumah tangga hingga skala yang lebih luas. Namun Pertama dan utama, terpenting, adalah pola pikir/pola ekologi pikirs di atas,” tutupnya.

Berita Terkait

TERKINI