Jakarta – Nama Simon Petrus Kamlasi (SPK) dan Frans Go (FG) bukanlah sosok asing bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Keduanya dikenal sebagai figur yang konsisten berkontribusi bagi pembangunan daerah, khususnya dalam bidang ketahanan pangan dan penyediaan air bersih.
SPK, putra TTS yang juga pensiunan Jenderal TNI AD, melejit namanya berkat inovasi pompa hidram. Penemuan itu berhasil mengubah banyak lahan tandus menjadi produktif, sehingga petani yang semula kesulitan air kini bisa bercocok tanam dengan lebih baik.
Sementara itu, Frans Go yang sukses berbisnis di Jakarta memilih kembali membangun NTT lewat Yayasan Felix Maria Go yang dikelola bersama istrinya. Yayasan ini telah lama menjalankan berbagai program sosial, mulai dari pemberian makanan bergizi gratis bagi anak-anak sekolah hingga penyediaan air bersih dan irigasi melalui program sumur bor.
Kedua figur ini sempat bersaing dalam Pilgub NTT 2024, namun kini mereka justru bersatu untuk kembali melayani rakyat. SPK kini dipercaya sebagai tenaga ahli Kementerian Pertanian di bidang ketahanan pangan, sementara FG tetap aktif dengan yayasannya dalam mendukung masyarakat pedesaan.
Pada 4–5 September 2025, SPK dan FG hadir bersama di Timor Tengah Utara (TTU) meninjau program bantuan sumur bor di Kampung Maumolo. Dalam pertemuan dengan media di Kupang, mereka menyatakan dukungan penuh pada pemerintahan Melki Laka Lena–Johny Asadoma untuk membangun NTT lima tahun ke depan.
Keduanya menekankan pentingnya kemandirian pangan bagi rakyat NTT. Diversifikasi pangan dianggap sebagai solusi menghadapi kenaikan harga beras, dengan kembali menghidupkan konsumsi jagung, ubi, dan pangan lokal lain yang sudah lama menjadi tradisi masyarakat.
“Pangan harus kita dorong ke diversifikasi. Jangan semua dipaksa makan beras, padahal ada ubi kayu, jagung, hingga umbi-umbian. Kita harus kembali ke pola pangan lokal,” ujar SPK. Pernyataan ini diamini FG yang menilai ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan air bagi petani.
Meski begitu, SPK mengingatkan agar bantuan pemerintah, termasuk sumur bor, dikelola dengan baik. Ia menyoroti masih banyak bantuan yang mubazir akibat studi sumber air yang kurang matang serta rendahnya kesadaran masyarakat menjaga fasilitas. Karena itu, ia dan FG memilih turun langsung berdialog dengan warga.
“Kami ingin memastikan bantuan yang ada benar-benar bermanfaat. Jangan sampai sumur bor hanya bertahan sebentar atau malah diklaim milik pribadi. Masyarakat harus dipersiapkan mengelola bantuan ini agar berkelanjutan,” tegas SPK.
Kolaborasi SPK dan FG ini diharapkan menjadi inspirasi bahwa pembangunan NTT bukan hanya tugas pemerintah, tetapi membutuhkan peran semua pihak. Dengan kepedulian dan aksi nyata, NTT diyakini mampu keluar dari keterbatasan dan menuju kemandirian pangan yang berkelanjutan.