Oleh: Ir. Fransiscus Go
Indonesia memiliki kekayaan alam, sumber daya manusia, dan peluang besar untuk maju. Namun, banyak di antara kita masih terjebak dalam budaya menunggu: menunggu bantuan, menunggu proyek, dan menunggu lapangan kerja.
Padahal Tuhan sudah memberi tiga modal utama yaitu akal, tenaga, dan waktu. Hal yang kita perlukan bukan belas kasihan, tetapi kemauan untuk menggerakkan potensi yang kita miliki.
Dari kesadaran inilah lahir istilah Tumhiho ( Tumbuh Mandiri Hidup Terhormat).
Tumbuh dari Kesadaran, Bukan Ketergantungan
Tumhiho mengajarkan bahwa perubahan tidak datang dari luar, melainkan dari kesadaran pribadi.
“Tumbuh” berarti berani belajar dan memperbaiki diri meski dalam keterbatasan. Banyak warga Indonesia terpaksa bekerja ke luar negeri karena merasa tidak punya pilihan lain.
Data BP2MI tahun 2024 mencatat 297.434 pekerja migran Indonesia berangkat ke luar negeri, sebagian besar berpendidikan rendah dan bekerja di sektor domestik.
Banyak di antaranya mengalami ketidakadilan, bahkan eksploitasi. Mereka berangkat karena keterampilan terbatas dan peluang kerja di dalam negeri sempit.
Fakta ini menunjukkan bahwa kemiskinan sering kali bermula dari minimnya keterampilan dan kesempatan.
Karena itu, Tumhiho hadir sebagai ajakan agar masyarakat tidak hanya mencari pekerjaan, tapi menciptakan peluang sendiri.
Tumbuh berarti berani memperkuat diri, belajar keterampilan baru, dan berusaha di tempat sendiri, bukan bergantung pada nasib di luar negeri.
Mandiri untuk Bertahan dan Bermartabat
Nilai kedua adalah mandiri. Kemandirian bukan berarti menolak bantuan, melainkan menjadikannya sebagai dorongan untuk bergerak.
Banyak masyarakat yang selama ini terbiasa bergantung pada bantuan sosial justru kehilangan motivasi untuk berusaha.
Padahal, di tengah gelombang PHK massal, kemandirian menjadi kebutuhan utama.
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2025 terdapat lebih dari 42 ribu kasus PHK, meningkat 32 persen dibanding tahun sebelumnya. Data BPS Februari 2025 juga mencatat 7,28 juta orang menganggur.
Situasi ini menunjukkan bahwa lapangan kerja formal semakin terbatas, sementara kebutuhan hidup terus meningkat.
Bantuan tidak akan mampu menopang semua orang tanpa perubahan pola pikir. Hal yang dibutuhkan adalah keberanian memulai, meski dari hal kecil.
Banyak contoh masyarakat yang sudah menerapkan nilai Tumhiho tanpa mereka sadari.
Contohnya, pemuda di desa membuka kebun hidroponik, ibu rumah tangga menjahit seragam tetangga, atau kelompok warga mendaur ulang sampah menjadi produk bernilai jual. Mereka tidak menunggu peluang datang, tetapi menciptakannya.
Hidup Terhormat Melalui Kerja Jujur
Tujuan tertinggi Tumhiho ini adalah hidup terhormat. Kehormatan tidak ditentukan oleh jumlah harta, melainkan dari kejujuran dan tanggung jawab.
Orang yang hidup dari hasil kerja sendiri mungkin tidak kaya, tetapi hidup terhormat karena tidak bergantung pada belas kasihan orang lain.
Masyarakat yang memilih jalan pintas, menggantungkan hidupnya dengan meminta-minta pada belas kasih orang lain.
Para pengemis tak mempedulikan kehormatan mereka. Namun, mereka yang bekerja dengan usaha kecil, bisa tetap menafkahi keluarga dengan bangga.
Di situlah letak kehormatan. Tumhiho ingin mengembalikan rasa percaya diri itu bahwa bekerja jujur dan mandiri jauh lebih terhormat daripada menerima tanpa berbuat.
Manfaat Nyata bagi Masyarakat
Tumhiho bukan hanya konsep moral, tetapi membawa dampak nyata bagi masyarakat bila dijalankan secara konsisten.
Tujuannya sederhana yaitu setiap warga, terutama masyarakat bawah, dapat hidup mandiri tanpa kehilangan kebersamaan.
Pertama, mengurangi risiko migrasi kerja berisiko tinggi. Banyak warga Indonesia bekerja di luar negeri dengan keterampilan terbatas dan risiko tinggi, termasuk eksploitasi dan perdagangan orang.
Dengan pelatihan keterampilan dan peluang usaha di dalam negeri, masyarakat dapat bekerja di kampung halamannya sendiri tanpa harus meninggalkan keluarga. Tumhiho memberi dasar bagi pembangunan ekonomi yang manusiawi.
Kedua, mengurangi pengangguran dan memperluas lapangan kerja. Saat PHK masih terus terjadi, semangat Tumhiho menjadi alternatif nyata.
Warga yang memulai usaha kecil hingga berdagang online turut menggerakkan ekonomi lokal. Setiap usaha kecil yang lahir dari kemandirian berarti satu keluarga terbebas dari pengangguran.
Ketiga, memperkuat ekonomi desa dan komunitas lokal. Tumhiho menumbuhkan ekonomi dari bawah. Ketika warga desa mampu mengelola potensi lokal seperti pangan, kerajinan, atau wisata, uang berputar di tingkat komunitas.
Perekonomian desa tidak lagi menunggu bantuan dari pusat. Ini terbukti selama pandemi Covid-19: ketika sektor besar terpukul, UMKM justru menjadi penopang utama perekonomian.
Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan UMKM menyumbang 61,07 persen terhadap PDB Indonesia, senilai lebih dari Rp8.573 triliun, dan menyerap 97 persen tenaga kerja nasional.
Meski 53,7 persen UMKM mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50 persen saat pandemi, banyak di antaranya tetap bertahan dengan berinovasi.
Para pelaku UMKM berjualan online, memproduksi masker hingga membuka usaha kuliner rumahan. Fakta ini membuktikan bahwa langkah kecil pun bisa menjaga roda ekonomi bangsa tetap berputar.
Keempat, membangun solidaritas sosial yang sehat. Tumhiho mengembalikan makna gotong royong yang sejati. Dalam semangat Tumhiho, orang yang sudah mandiri membantu yang sedang belajar mandiri.
Bantuan menjadi alat untuk menguatkan, bukan membuat lemah. Pola hubungan sosial seperti ini menumbuhkan rasa saling menghormati dan memperkecil kesenjangan sosial.
Kelima, menumbuhkan kepercayaan diri kolektif bangsa. Bangsa yang kuat tidak diukur dari berapa banyak bantuan yang diterima, tetapi dari keyakinan rakyatnya bahwa mereka mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Ketika masyarakat percaya pada kemampuan diri, reputasi Indonesia ikut terangkat. Kemandirian ekonomi yang berakar dari rumah tangga memperkuat martabat nasional.
Tumhiho berarti membuka tangan bukan hanya untuk menerima, tetapi juga bekerja. Ini tentang keberanian memulai dari kecil, menabung sedikit demi sedikit, belajar hal baru, dan tidak mudah menyerah.
Pemerintah tentu tetap berperan dalam menyediakan pelatihan dan fasilitas, tetapi perubahan sejati harus datang dari kesadaran rakyatnya.
Bangsa ini pernah berdiri karena semangat kerja dan gotong royong, bukan karena bantuan. Kini saatnya semangat itu dihidupkan kembali dengan semangat Tumhiho.
Jika setiap warga mengambil bagian, bangsa ini akan tumbuh lebih kuat dan terhormat di mata dunia.
Tumhiho adalah arah baru bagi Indonesia. Tumhiho menegaskan bahwa kemajuan tidak diukur dari berapa banyak bantuan yang diterima, tetapi seberapa besar rakyatnya berani bekerja dan berdiri di atas kakinya sendiri.
Dengan semangat Tumbuh Mandiri Hidup Terhormat, kita membangun Indonesia yang berdaya, sejahtera, dan bermartabat.
Karena bangsa yang hidup dari hasil kerja sendiri adalah bangsa yang tidak akan pernah kehilangan harga dirinya. Mari semua stakeholder, katong baku jaga (BAJAGA) untuk NTT lebe bae
				
															
		
		
		
		
		
		
		
		
		
		
		
		




