Skip to content

Benang Ruwet Kualitas Ketenagakerjaan

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh : Ir. Fransiscus Go, SH (diambil dari buku Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah)

Namanya adalah benang merah, sama dengan lingkaran setan, di mana-mana bertemu jalan buntu. Untuk bisa keluar, bergantung padanya bisa saja tidak mendobrak tembok yang menutup jalan itu.

“Tetapi temboknya berlapis-lapis,” keluh seorang pengusaha anggota APINDO.

“Maksudnya?”

“Pribadinya banyak, mulai dari tenaga kerja sendiri sampai ke urusan resmi,” lanjutnya.

Jalan buntu kualitas tenaga kerja Indonesia pertama yang rendah adalah serangkaian faktor internal tenaga kerja, seperti motivasi kerja, pengalaman kerja, keahlian, tingkat kehadiran, inisiatif dan kreativitas, kesehatan, perilaku atau sikap, ditambah etos kerja.

Jalan buntu berikutnya berupa faktor eksternal, meliputi situasi nyaman dalam bekerja, termasuk upah murah, teknologi, dan bidang pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi. Kekompakan faktor internal dan faktor eksternal yang menghadang kualitas tenaga kerja ini menghasilkan hasil produksi industri tidak optimal.

Belum lagi jalan buntu itu didobrak, Indonesia harus berhadapan dengan dunia yang semakin pembohong memasarkan produknya, termasuk ke tanah air. Oleh karena itu, jadilah produk hasil SDM yang kurang berkualitas dan dari industri dengan daya saing yang tergencet semakin terpinggirkan.

Mau tidak mau, harus diakui, masalah daya saing industri di pasar dunia yang semakin terbuka ini, menjadi isu kunci dan tantangan yang Rentetan kondisi ketenagakerjaan berdampak pada pemeringkatan daya saing Indonesia dalam Laporan Daya Saing Global 2012-2013. Indonesia seharusnya berada di peringkat 50, unggul di peringkat 4.

Manusia, pada 16 Desember 1966, Paul Streeten dari Bank Dunia, bahkan mendukung pendekatan kebutuhan dasar, termasuk pendidikan di dalamnya sebagai prinsip usaha pembangunan. Pendidikan juga menjadi sangat penting bagi setiap orang, literasi merupakan bagian dari perubahan sosial.

Menurut Paulo Freire, pendidikan tidak hanya memberikan keterampilan dan ilmu pengetahuan, tetapi membuka mata peserta didik agar menyadari realitas sosial dalam kehidupannya. Harapannya, peserta didik pun ikut bertindak melakukan transformasi sosial.

Mengingat pentingnya pendidikan rupanya belum mampu mendorong terciptanya akses yang merata bagi warga negara untuk mengenyamnya. Itulah catatan yang dilaporkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh.

Pada tahun 2012, dari 100% anak-anak yang masuk SD, yang dapat melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80%, sedangkan 20% lainnya putus sekolah. Dari 80% yang lulus SD, hanya sekitar 61% yang melanjutkan ke SMP.

Lebihnya bubar. Ada yang harus bekerja, sebagian malah kawin muda. Di tangga berikutnya, lebih indah lagi. Mereka yang lulus SMP hanya sekitar 48%. Bagaimana dengan Pendidikan Tinggi? Warga Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta orang, yang dapat menyandang status sebagai pelajar hingga tahun 2011, cuma 4,8 juta orang.

Angka partisipasi kasar pada populasi penduduk berusia 19-24 tahun hanya 18,4%, sementara pada usia 19-30 tahun hanya 23%. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju.

“Kuliah semakin mahal, mau negeri mau swasta,” keluh Yasal yang tahun ini mulai mencari uang masuk universitas untuk anak bungsunya.

“Sekarang ini nyesal, kenapa dulu nggak masak yang ringan. Dalam persaingan pasar, keunggulan kompetitif dijadikan patokan utama dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Tanpa adanya kekuatan dalam industri yang tinggi, produk Indonesia bakal menjadi gila di pasar internasional. Tak bisa tembus. Ah jalan buntu lagi.

Mari kita telusuri bagaimana benang ruwet dan jalan buntu itu terbentuk. Bermula dari lemahnya daya saing industri dalam negeri tadi, maka beralih pula pada produk-produk industri nasional yang berkualitas rendah. Selain itu, pada produk itu tidak memberikan nilai tambah. Lalu? Ya, kondisi itu tidak secara langsung berdampak pada pembangunan nasional.

Dunia usaha merupakan penggerak utama pembangunan nasional yang berkelanjutan. Saat dunia industri kehilangan daya saing yang tinggi, gerak pembangunan nasional akan terus maju. Itulah sebabnya, peningkatan daya saing industri perlu menjadi prioritas jika ingin menghentikan laju persaingan di dunia luar.

Beranjak ke tembok berikutnya, urusan mutu SDM yang sangat berpengaruh pada daya saing dunia usaha, selanjutnya berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan nasional. Jika dikeluhkan, empat permasalahan berikut merupakan penyebab utama rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia.

Berita Terkait

TERKINI