Skip to content

Masih Ada Tembok Pada Akses Pendidikan di Daerah

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh; Ir. Fransiscus Go (diambil dari buku “Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah”)

Sesungguhnya, para pendiri bangsa Indonesia memiliki wawasan jauh ke depan dalam menyusun UUD 1945 karena menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara. Penempatan hak warga negara atas pendidikan dalam konstitusi negeri ini terbentuk jauh sebelum Majelis Umum PBB menerima instrumen tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai dokumen internasional dalam bidang Hak Asasi Manusia, pada 16 Desember 1966.

Paul Streeten dari Bank Dunia, bahkan mendukung pendekatan basic need, termasuk pendidikan di dalamnya sebagai prinsip usaha pembangunan. Pendidikan juga menjadi sangat penting bagi setiap orang, lantaran merupakan bagian dari perubahan sosial.

Menurut Paulo Freire, pendidikan bukan sekadar memberikan keterampilan dan ilmu pengetahuan, tetapi membuka mata peserta didik agar menyadari realitas sosial dalam kehidupannya. Harapannya, peserta didik lantas bertindak melakukan transformasi sosial.

Sebegitu pentingnya pendidikan rupanya belum mampu mendorong terciptanya akses yang merata bagi warga negara untuk mengenyamnya.  Tengok saja catatan yang dipaparkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh.

Pada tahun 2012, dari 100% anak-anak yang masuk SD, yang dapat melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80%, sedangkan 20% lainnya putus sekolah. Dari 80% yang lulus SD, hanya sekitar 61% yang melanjutkan ke SMP. Selebihnya bubar. Ada yang harus bekerja, sebagian malah kawin muda. Di tangga berikutnya, lebih miris lagi. Mereka yang lulus SMP hanya sekitar 48%.

Bagaimana dengan Pendidikan Tinggi?

Warga Indonesia yang jumlahnya sekitar 250 juta orang, yang dapat menyandang status sebagai mahasiswa hingga tahun 2011, cuma 4,8 juta orang. Angka partisipasi kasar pada populasi penduduk berusia 19-24 tahun hanya 18,4%, sementara pada usia 19-30 tahun hanya 23%. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju.

“Kuliah semakin mahal, mau negeri mau swasta,” keluh Yasal yang tahun ini pusing mencarikan uang masuk universitas untuk anak bungsunya. “Sekarang ini nyesal, kenapa dulu tidak menyiapkan asuransi pendidikan. Tetapi, kalau dipikir-pikir kok bisa ya, biaya melonjak berlipat-lipat begini. Masuk kedokteran paling murah Rp150 juta, gimana caranya tuh universitas menghitung coba?” Itu di Jakarta.

Bagaimana dengan kondisi di daerah?

Berdasarkan Studi Strategis Dalam Negeri (SSDN) penulis ke Bengkulu, pendidikan dan keterampilan masyarakat setempat juga rendah. Sarana dan akses pelayanan pendidikan dan kesehatan, belum optimal.

Mutu pendidikan masyarakat antara lain tergambar dari besarnya jumlah siswa tidak lulus Ujian Akhir Nasional. APMnya? Untuk pendidikan SMA di Bengkulu hanya 51,69%. Tak jauh beda, APM nasional juga menunjukkan kecenderungan yang sama.

Pada 2012 APM tingkat SD sekitar 93%, SMP 70%, SMA 52% dan Perguruan Tinggi nyungsep di angka kurang dari 15%. Kondisi ini berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja oleh dunia usaha. Apa pasal? Karena makin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki, makin besar pula peluang orang tersebut mendapatkan pekerjaan. Hal ini dapat ditunjukkan dari data pengangguran terbuka. Pengangguran terdidik semakin berkurang, seiring semakin tingginya pendidikan. Pada 2012, pengangguran terbuka hampir 1,5 juta orang dan jebolan SMP 1,7 juta orang. Tamatan SMP menyisakan pengangguran terbuka, 1,8 juta orang, sedangkan SLTA kejuruan di angka 1 juta orang.

Penyandang gelar Sarjana memiliki pengangguran terbuka kurang dari 500 ribu orang. Andai semua orang bisa mencapai pendidikan tinggi, pengangguran terbuka mestinya makin menipis. Akan tetapi, harapan itu terbentur pada akses publik dalam mendapatkan layanan pendidikan.

Di tingkat pendidikan dasar, khususnya dalam menuntaskan wajib belajar sembilan tahun, banyak siswa yang putus sekolah karena faktor biaya atau lantaran persebaran fasilitas pendidikan yang kurang memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat umumnya. “Anak saya, Fadlan, terpaksa putus sekolah sampai SMP, masalahnya seperti kebanyakan orang, ekonomi” ujar Syarif, pedagang kelapa di pasar Kramat Jati, Jakarta.

“Tapi kan, sekolah SMP itu tidak pakai SPP lagi?” “Bukunya, biaya ini itu?” Syarif balik bertanya. “Pasti bisa dibantu.” “Terus bisa bantu saya jualan di sini untuk menghidupi adik-adiknya Fadlan?” Syarif membalikkan pertanyaanya. Kalimatnya datar, tanpa ekspresi, tanpa optimisme.

Nyata, kemiskinan memang berkontribusi besar terhadap putusnya pendidikan anak, karena tidak mampu membayar uang sekolah. Selain itu, keterbatasan infrastruktur berupa bangunan sekolah dan akses jalan, sering menjadi kendala di desa-desa sehingga banyak anak tidak bersekolah. Anak-anak lulusan pendidikan dasar, tidak dapat melanjutkan ke pendidikan menengah, karena tidak ada lembaga pendidikan sekolah menengah di wilayah mereka.

Masih butuh jalan panjang untuk menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Itu sebabnya, perlu dipertimbangkan kesiapan masing-masing daerah di seluruh Indonesia menjalankan hajatan mendasar ini. Bagi daerah yang siap, wajib belajar 12 tahun dapat dilaksanakan. Bagi daerah yang belum siap, paling tidak pemerintah dapat mendorong tuntasnya wajib belajar untuk 9 tahun. Sayangnya, program pendidikan formal ini belum memiliki kejelasan strategi dan keluaran yang akan dicapai.

Pada saat bersamaan, peningkatan mutu pendidikan Indonesia menghadapi tantangan, baik nasional dan global. Hadangan di level nasional meliputi keterbatasan anggaran, tuntutan masyarakat dan dunia industri akan kualitas dan relevansi pendidikan, serta lagi-lagi tak jauh dari urusan sinkronisasi birokrasi dan regulasi.

Sedangkan tantangan global adalah liberalisasi sektor pendidikan. Liberalisasi yang ada, nyatanya telah menyulap pendidikan menjadi industri dan menjelma menjadi komoditas komersial. Jadilah pemenuhan hak konstitusi rakyat atas pendidikan bermutu semakin menjauh.

“Berapa harga bangku SMA favorit di sini?”

“Yang mana? Swasta atau negeri?” tanya Firman, seorang ayah yang sedang memilih sekolah untuk putrinya. “Lho memang negeri jualan bangku juga?”

“Hahahahaha, tidak cuma melelang, yang menawar paling tinggi yang bakal dapat. Kalau mau tahu berapa harga terendah, cari orang tua yang tahun lalu memasukkan anaknya ke sekolah negeri,” Firman berkata sembari tertawa tipis, menyiratkan sindiran yang kental.

Perlu strategi dan kebijakan yang integral dan komprehensif dalam kedua tantangan ini

Berita Terkait

TERKINI