Skip to content

Pemberantasan TPPO di NTT: BP2MI dan Fransiscus Go Berikan Solusi Konkret

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

JAKARTA – Benny Rhamdani, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam konteks perdagangan orang atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Dalam diskusi publik Komunitas Literasi Nusantara (KLN) yang bertema “Solusi Jangka Panjang Perlindungan dan Penegakkan Hukum Terhadap Korban Human Trafficking di NTT”, diselenggarakan di Kafe Kendal, Menteng, Jakarta Pusat, Benny mengungkapkan data mengenai korban TPPO dan upaya pemerintah dalam memberantas praktik ini.

“Kami telah mengidentifikasi 102.329 orang yang menjadi korban TPPO, menegaskan perlunya tindakan konkrit untuk menghentikan praktek ini,” kata Benny.

Menurut data terbaru, terdapat 102.329 warga Indonesia yang dideportasi dari luar negeri akibat TPPO, dengan 2.234 meninggal dan 3.531 mengalami sakit, termasuk depresi dan cacat fisik. Benny menegaskan, perlindungan hukum dan keamanan untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) harus menjadi prioritas, mengikuti pesan Presiden Jokowi untuk melindungi PMI sepenuhnya.

BP2MI telah mengambil langkah-langkah serius, termasuk menyiapkan fasilitas di bandara dan memerangi sindikat penempatan PMI ilegal. Contohnya, BP2MI baru-baru ini mengamankan 161 wanita di Bekasi yang akan dikirim ke Timur Tengah secara ilegal.

Sementara itu, Fransiscus Go, pengusaha dan pemerhati ketenagakerjaan, menyoroti peran pemerintah daerah dalam menangani TPPO, khususnya di NTT. Fransiscus menekankan perlunya menangani akar masalah TPPO, seperti rendahnya pendidikan, kemiskinan, dan sulitnya lapangan pekerjaan.

Fransiscus mengusulkan solusi seperti peningkatan pendidikan, penciptaan lapangan pekerjaan, pengetatan regulasi, dan kerja sama dengan sektor swasta. Dia juga menyerukan kepada Pemprov NTT untuk mengedukasi warganya agar tidak tergiur menjadi PMI ilegal, dengan menguatkan ekonomi lokal.

“Kunci untuk mengurangi TPPO terletak pada peningkatan kualitas hidup warga, terutama di daerah rawan seperti NTT,” ujar Fransiscus.

Di sisi lain, Maria Goreti Ana Kaka, seorang penggiat media, menekankan peran media dalam memerangi TPPO. Menurut Maria, media dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah ini dan menjadi katalisator bagi pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang efektif.

Diskusi ini menyoroti pentingnya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani TPPO di NTT, mulai dari pemerintah, media, hingga masyarakat umum. (KENDAL1)

Sumber: rmi.id

Berita Terkait

TERKINI