Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]
Kondisi ini membuat Indonesia begitu timpang untuk bersaing dengan angkatan muda dari negara-negara lain. Globalisasi ekonomi yang berdampak sangat luas ke berbagai bidang dapat menjelma menjadi bumerang yang mendorong Indonesia menjadi negara gagal saing.
Undang-Undang Dasar mencantumkan anggaran pendidikan nasional minimal sebesar 20% dari APBN. Akan tetapi, itu tidak serta- merta bisa membuahkan angkatan muda yang siap pakai dan siap bersaing. Pemerintah sepatutnya memikirkan solusi secara sistematis dan terencana, untuk mengatasi masalah tenaga kerja muda terdidik maupun tidak terdidik agar siap memasuki pasar bebas, baik di tingkat ASEAN melalui MEA maupun pasar global lainnya. Ada solusi jangka pendek yang perlu ditempuh sehingga angkatan muda Indonesia tidak menjadi pekerja kelas bawah di negerinya sendiri, sedangkan tenaga kerja asing menjadi leader dengan pendapatan sangat tinggi.
Ibu Ratna, staf HRD di salah satu perusahaan swasta di kawasan Sudirman yang sedang menonton berita di salah satu stasiun televisi swasta, di siang hari, Juli 2015, sontak serius saat melihat berita di salah satu Televisi swasta. Pasalnya, aliran tenaga kerja dari RRT sudah mulai merambah dunia industri di Jakarta dan sekitarnya. “Bagaimana putra/putri kita akan mendapat kesempatan usaha jika Presiden tidak bisa membendungnya”? guman Ibu Ratna. Kerisauan ini berlalu seiring berlalunya berita itu.
Membludaknya angkatan kerja muda dalam 5 hingga 15 tahun ke depan sebagai konsekuensi dari bonus demografi, sekali lagi adalah tantangan yang sangat berat bagi Indonesia. Tantangan ini tidak hanya dihadapi pemerintah sebagai representasi dari peran negara, tetapi juga oleh lembaga-lembaga pendidikan, lembaga swasta, dan korporasi nasional. Bukan sebuah lelucon jika perusahaan-perusahaan swasta kelak harus merekrut lebih banyak tenaga kerja asing, sedangkan putra- putri Indonesia hanya menjadi penonton dan penganggur, di tengah ekonomi nasional yang sedang sangat sibuk.
Itu sebabnya, lembaga pendidikan nasional harus memandang lemahnya masalah kualitas pendidikan nasional sebagai tanggung jawab mereka. Para punggawa pendidikan harus segera berbenah dengan serius untuk menghasilkan tenaga-tenaga sarjana yang memiliki kompetensi keilmuan dan teknis memadai. Kompetensi keilmuan dan know how ini menjadi syarat dasar untuk mengisi berbagai lowongan kerja di masa depan. Bila tidak, alamat SDM kita gigit jari di negeri sendiri, apalagi jika harus bersaing di pasar kerja negara tetangga.