Skip to content

Kualitas Tenaga Kerja yang Timpang

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]

Sebenarnya, perusahaan pencari tenaga kerja kerap dibuat pening lantaran sulit mendapatkan tenaga kerja yang memiliki standar keilmuan tinggi dengan keterampilan teknis bekerja memadai. Berjibun lulusan perguruan tinggi tapi gagal menghasilkan tenaga-tenaga terdidik dengan kemampuan yang mumpuni. Akibatnya, daya saing mereka ketika melamar atau bekerja tidak setara dengan lulusan luar negeri atau tenaga kerja luar negeri. Tidak jarang ada yang tertinggal, lantaran di luar, laju peningkatan kemampuan dan keahlian pekerja berlangsung sangat cepat. Akibatnya, lowongan yang seharusnya dapat diisi lulusan dalam negeri justru jatuh ke tangan pekerja asing. Gigit jari.

Kondisi ini menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia saat ini. Masih ada yang memandang pendidikan formal sekadar ritual pendidikan yang bersifat formalitas untuk membentuk peserta didik. Menjejali teori saja. Lembaga pendidikan tinggi sama sekali tidak peduli dengan output dan kualitas intelektual serta skill anak didik mereka. Yang penting lulus. Tidak mengherankan jika kita mendengar dan menyaksikan guru berbuat curang dalam UN hanya untuk menyandang status sekolah 100%.

Orangtua pun sama saja. Mereka setengah mati berusaha untuk kelancaran pendidikan anak, kendati terkadang jauh melenceng dari jalur yang semestinya. Mereka rela melakukan apa saja agar anaknya selesai sekolah dan mendapat pekerjaan.

Bagi lembaga pendidikan, yang utama adalah peserta didik telah membayar sejumlah rupiah. Praktik komersialisasi, mulai dari yang resmi maupun yang tidak resmi, mengalir deras seperti sungai di musim hujan, mulai dari jual-beli bangku sekolah, uang gedung, uang kumpulan komite sekolah, uang perpisahaan, uang wisuda, atau sekadar memberi kenang-kenangan untuk guru kelas. “Kalau begini caranya, pendidikan bahkan bisa dibeli dengan uang. Sebab uang yang keluar banyak, hasilnya tak ada,” gerutu Amir ketika mendapatkan edaran dari sekolah anaknya. Isinya meminta uang wisuda. “Tidak apa-apa Pak, kan hanya sekali lulusnya, mumpung anak kita lulus. Coba kalau tak lulus seperti anaknya Bu Tari,” timpal Pak Zaman. Di sekolah itu, dari 120 siswa kelas 3 SMU, ada 12 yang tidak lulus.

“Yang terpenting anak saya Ferdi menjadi sarjana, saya rela jual sawah buat biaya sekolah,” sebut saja Pak Yudi, seorang PNS yang kebetulan mewarisi sebidang sawah dari orangtua mereka, kakek dan nenek Ferdi.

“Bagaimana kalau nanti Ferdi lama tak dapat pekerjaan?”

“Ya usaha Pak.”

“Pak Yudi atau Ferdi yang usaha?”

“Ya dua-duanya Pak. Namanya orangtua, tugasnya bantu anak sampai mandiri,” jawab Pak Yudi kemudian.

“Maksud Pak Yudi mau usaha?”

“Ya apa saja Pak, yang kita punya, kalau perlu dijual ya dijual saja supaya diterima kerja.”

“Nyuap?”

“Ya Sampeyan jangan menyebut begitu dong Pak. Sekarang kan zamannya serba-bayar.” Gawat!!!

Uang menjadi orientasi utama tanpa memerhatikan kualitas pendi- dikan pada anak didik agar menjadi lulusan yang siap kerja. Lebih parah, tidak semua orangtua bersikap kritis. Sebaliknya, mereka makin permisif terhadap praktik-praktik menyebalkan komersialisasi pendidikan.

Cara berpikir dan bertindak orangtua maupun lembaga pendidikan seperti inilah yang menyebabkan efektivitas pengajaran dan pendidikan di Indonesia menjadi melempem. Lulus sekolah, tetapi tidak cukup siap masuk dunia kerja, tidak siap bersaing. Banyak lulusan perguruan tinggi yang kemudian menganggur lantaran kemampuan mereka tidak sinkron dengan kebutuhan dunia kerja. Lagi-lagi timpang.

Jumlah penduduk yang besar mestinya menjadi keunggulan saat diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang ditempa melalui sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Bila jumlah penduduk besar sekadar memperlihatkan angka tinggi tanpa disertai kualitas memadai, hasilnya adalah persoalan. Persoalan yang dimaksud adalah kerumitan yang merembet pada rentetan problem sosial dan lingkaran setan kemiskinan. Angka besar, tapi gagal meningkatkan daya saing bangsa di level internasional.

Pendidikan harus menjadi modal dasar membentuk kualitas manusia Indonesia yang memiliki kemampuan untuk bersaing dengan bangsa- bangsa lain, terutama bangsa di kawasan. Namun, apa daya, kondisinya jauh dari harapan. Sekadar perbandingan, saat ini di Malaysia sekitar 75% penduduknya adalah lulusan sarjana. Di Korea Selatan bahkan hampir 90% penduduknya tamatan S-1 (strata satu).

Celakanya, di Indonesia, komposisi angkatan kerja tergambar dalam kurva terbalik. Bagian atas dari kurva itu adalah jumlah penduduk yang hanya tamat SD. Angka itu merebut hampir separuh dari angkatan kerja. Hanya sedikit angkatan kerja yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Artinya, komposisi pencari kerja bergerak sebanding dengan tingkat pendidikan. Pencari kerja Indonesia mayoritas berpendidikan menengah ke bawah.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2013 mencatat, rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi betul dari perkiraan komposisi angkatan kerja. Data BPS masih menunjukkan angkatan kerja yang hanya lulus SD, bahkan tidak selesai SD, mencapai 52 juta orang (46,95%). Mendekati separuh dari angkatan kerja yang ada. Dengan komposisi seperti ini, bagaimana mungkin dapat berkompetisi?

Padahal, kita sudah berada di ambang kebebasan lalu lintas pasar kerja. Desember 2015, angkatan kerja termasuk para lulusan SD bukan sekadar bersaing dengan pengangguran sebangsa dan setanah air untuk merebutkan kursi pekerjaan. Indonesia bakal memasuki era persaingan bebas melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), setelah menandatangani kesepakatan untuk menerima dan mengirim tenaga kerja secara bebas, ke mana saja dalam lingkup ASEAN. Artinya, angkatan kerja Indonesia, termasuk yang hanya tamat SD tadi bakal bersaing dengan angkatan kerja dari Malaysia, Singapura, Thailand, Filiphina, Laos, Vietnam, Brunei, dan Timor Leste. Makin rumit kompetisi memperebutkan pekerjaan. Bayangkan lulusan SD dan SMP akan bersaing dengan mereka.

Kabar baik dari kesepakatan ini adalah peluang ekspor tenaga kerja. Ketika lapangan kerja dalam negeri tidak mampu menampung angkatan kerja, pengiriman tenaga kerja menjadi baik dan penting. Hanya saja, yang menjadi persoalan kemudian adalah tenaga kerja seperti apa yang hendak kita ekspor ke luar negeri? Melanjutkan pengiriman buruh migran dalam jumlah besar untuk pekerjaan domestik alias rumah tangga? Ini sama saja melanjutkan kecelakaan sejarah.

Permasalahan mendasar dari berbagai kasus penyiksaan dan penelantaran TKI yang selama ini terjadi adalah kecelakaan sejarah yang terus berulang. Sengaja kita ulang. Nyaris tidak ada solusi atau aksi berarti untuk memperbaikinya. Pemerintah sepertinya segan menghadapi tekanan negara penempatan untuk membuat perlindungan paripurna buruh migran kita. Alih-alih moratorium serius, kita terus mengirim para pekerja rumah tangga (unskilled labor) dengan latar pendidikan terbatas, keterampilan tidak memadai, dan kemampuan komunikasi yang rendah. Di luar negeri, Indonesia seolah menjadi bangsa kuli. Ini menyakitkan, tetapi itulah faktanya. Bagaimanapun, peluang mengirim tenaga kerja muda berpendidikan untuk melanjutkan kariernya di luar negeri, bukan tidak mungkin diwujudkan. Kesempatan ini bisa disambut Indonesia dengan mengoptimalkan tenaga kerja terdidik yang belum atau tidak memperoleh kesempatan berkarier di tanah air. Namun, sebelum itu, pemerintah wajib mencari solusi dengan menyiapkan roadmap bagi para calon kerja terdidik, terutama lulusan perguruan tinggi agar mampu bersaing di luar negeri. Mengasah bahasa asing, minimal bahasa Inggris, sejak dini adalah keharusan.

MEA memunculkan beragam kemungkinan baru yang sebenarnya juga menguntungkan Indonesia yang memiliki jumlah tenaga kerja berlimpah. Beberapa negara anggota ASEAN membutuhkan tenaga kerja untuk mengisi posisi di negaranya. Kebutuhan tenaga kerja ini dapat disokong Indonesia. Bagi Indonesia, ini merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kelebihan tenaga kerja di dalam negeri dengan mekanisme administrasi yang lebih ringan. Tantangannya adalah bagaimana mengirim tenaga kerja yang lebih terampil (labor skilled) ketimbang mengirim pekerja rumah tangga.

Jika konsep MEA dipahami secara positif, solusi kecemasan kita terhadap ledakan pencari kerja dalam beberapa tahun ke depan dapat diatasi. Namun, lagi-lagi tidak mudah menghadapi persaingan yang kian ketat dengan negara-negara lain. Perlu strategi matang, terencana, dan substansial.

Bonus demografi yang didengungkan selama ini dapat menjadi berkat sekaligus bumerang. Menjadi berkat, ketika bonus demografi menghasilkan kesejahteraan yang jauh lebih baik saat usia produktif jauh melampaui tenaga tidak produktif, serta mampu menghasilkan barang dan jasa untuk kesejahteraan. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan dan menjadi mesin pemutar pertumbuhan ekonomi. Singkat kata, SDM berkualitas dalam jumlah besar, produktif, dan punya skill tinggi akan menghasilkan produk dan jasa berkualitas super, ekonomi yang terus berputar, pertumbuhan signifikan, dan akhirnya kesejahteraan. Dengan kata lain, angkatan kerja dalam konsep bonus demografi adalah bonus angkatan kerja dengan produktivitas alias tidak mengganggur. Usia produktif bekerja dan menghasilkan bagi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Semua yang ada di sekitarnya ikut terkerek menikmati kebaikan. Setiap proses produktif yang signifikan akan membawa multiplier effect.

Namun, ledakan angkatan kerja ini dapat menjadi masalah serius saat lapangan kerja tidak cukup memadai untuk menampung angkatan kerja. Bonus demografi ini pun dapat menjadi beban baru bagi Indonesia. Sesungguhnya kita masih punya waktu, meski memiliki rentang makin pendek untuk mencari solusi atas bonus demografi yang diperkirakan sudah dimulai saat ini hingga tahun 2030. Solusi harus segera ditetapkan atau Indonesia bakal menghadapi dampak yang membahayakan stabilitas ekonomi dan sosial nasional.

Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah harus mampu menjadi agent of development dengan cara memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Indonesia harus memulainya dari ranah pendidikan, baik formal maupun informal, serta kemampuan dalam penguasaan teknologi. Pendidikan harus dilihat sebagai solusi dasar untuk menjadikan bangsa ini mampu bersaing dengan bangsa lain. Pendidikan tidak boleh direcoki oleh kepentingan komersial yang makin kelewatan memeras uang orang tua murid.

Harus diakui bahwa kesadaran di bidang pendidikan tiba begitu terlambat. Pengentasan pengangguran juga harus segera. Akselerasi pendidikan dapat dilakukan secara serempak dengan pembangunan yang menciptakan lapangan kerja bagi setiap warga negara. Salah satunya adalah mendorong kaum muda agar mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Orang muda harus diarahkan menjadi sosok. Bukan sekadar mandiri, tetapi dapat menciptakan lapangan kerja entrepreneur. Orang muda menjadi pengusaha perlu digalakkan di seluruh penjuru negeri. Untuk mencapai titik ini, harus ada korelasi antara dunia pendidikan dengan kesadaran menghasilkan lapangan kerja sendiri atau pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyek- sikan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang adalah 305,6 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Indonesia berada di posisi ke-5 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Meskipun demikian, peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Inilah yang dimaksud dengan bonus demografi, yakni rasio penduduk Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tidak produktif. Namanya bonus, seharusnya bersifat menyenangkan. Bila sebaliknya, disebut beban demografi.

Pada tahun 2020, proporsi penduduk usia produktif diprediksi sebesar 66,5%. Proporsi ini akan meningkat mencapai 68,1% pada tahun 2028 hingga 2031. Peningkatan jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan. Artinya, jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5% pada tahun 2010 menjadi 46,9% pada periode 2028 – 2031. Namun, angka ketergantungan ini diperkirakan akan kembali meningkat menjadi 47,3% pada tahun 2035.

Hal penting dari bonus demografi adalah kesiapan Indonesia untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi usia produktif yang sedang tinggi-tingginya. Dengan demikian, keunggulan jumlah penduduk produktif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di level dua digit, sebagaimana yang terjadi pada negara yang juga pernah mengalami bonus demografi, seperti Thailand, Tiongkok, Taiwan, dan Korea Selatan. Di negara-negara tersebut, bonus demografi berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi antara 10% -15%. Masalahnya, apakah Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi itu, di tengah deraan ketidakpastian ekonomi dunia? Saling ketergantungan ekonomi antarnegara maupun antarkawasan membuat Indonesia berada dalam posisi sulit memecahkan beragam persoalan, termasuk membludaknya angkatan kerja.

Uraian di atas tentu saja membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah sebagai pemegang mandat dan regulator sehingga antrean panjang pekerja sebagaimana uraian di atas segera teratasi. Selain itu, tuntutan peningkatan kualitas tenaga kerja, link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja, surplus tenaga kerja usia produktif, serta hambatan-hambatan dalam penyediaan lapangan kerja dapat teratasi.

Berita Terkait

TERKINI