Oleh: Fransiscus Go dan Hani Subagio [diambil dari buku Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah]
Salim, 44 tahun, membentuk gunungan putih setinggi kurang S lebih tiga meter dengan sekopnya, di salah satu sudut Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia terus melempar garam dari pinggir ke tengah. Seharusnya, ini menjadi hari-hari yang menyenangkan, lantaran hasil kerja kerasnya sudah bisa dipanen. Akan tetapi, seperti ribuan petani lainnya di Pantai Utara (Pantura) Jawa, Salim dirundung resah ketimbang bersuka cita menyambut panen. Garam hasil tambak mereka terasa semakin pahit karena tidak laku di pasar. Bukan karena tidak ada permintaan dari pasar, tetapi lantaran industri yang membutuhkan garam, lebih memilih membeli garam impor ketimbang garam produksi para petani dalam negeri.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, berkali-kali menegaskan, Indonesia mampu melanjutkan swasembada garam jika keran impor garam konsumsi ditutup. Kementerian ini mencatat, ada sisa stok 1 juta ton garam konsumsi pada 2012 dan 1,5 juta ton pada 2013. Namun, impor terus berlangsung. Akibatnya, garam hasil panen para petani menumpuk di gudang-gudang. Lebih mengherankan lagi, walaupun garam produksi petani dalam negeri menumpuk di gudang, di pasaran termasuk di warung-warung malah beredar garam impor dari India dan Australia. Padahal, Kementerian Perdagangan menegaskan, garam yang diimpor hanya khusus untuk memenuhi kebutuhan industri. Meski suaminya berpeluh keringat membuat garam, tanpa disangguh Pak Salim pun mungkin menggunakan garam olahan impor. Sungguh ironi.
Impor garam yang dilakukan Indonesia pada Juni 2013 mencapai 112 ribu ton atau senilai US$ 5,6 juta. Selama enam bulan (Januari-Juni 2013), impor garam tercatat mencapai 923 ribu ton atau senilai US$ 43,1 juta. Impor garam yang terus memenuhi pasar menyebabkan harga garam lokal di tingkat petani semakin terjerembab. Di bulan Oktober 2013, harga garam turun di kisaran Rp200-Rp220/kg. Sebelumnya, bahkan sempat anjlok hingga menyentuh harga Rp100/kilo. Lebih murah dari sebutir permen atau dibutuhkan lebih dari setengah kuintal agar dapat ditukar dengan satu kilogram beras.
Mengapa impor garam begitu mudah melenggang? Di luar adanya dugaan permainan, kemudahan impor adalah konsekuensi dari globalisasi ekonomi, ketika perdagangan nyaris tak lagi menemui batasan-batasan, termasuk proteksi dan aturan antarnegara. Saat garam impor masuk, konsumen memiliki lebih banyak pilihan. Sebagian besar garam produksi penambak garam lokal yang diolah secara tradisional juga menjadi salah satu penyebab mengapa garam produksi dalam negeri tidak memenuhi standar internasional yang dibutuhkan oleh industri tertentu. Dan, demi memenuhi standar internasional, industri lebih memilih membeli garam impor.
Pro kontra impor garam memicu perdebatan dua menteri terkait di media, sekitar 2011-2012. Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu menentang impor garam, sementara Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu mengatakan, impor diperlukan untuk memenuhi kekurangan pasokan garam industri.
Perdebatan saat itu tidak memberi solusi apa pun bagi Salim dan ribuan petani garam lainnya. Harga garam lokal tetap anjlok dan kondisi mereka sebagai petani tetap terpuruk. Sementara globalisasi ekonomi berikut dampak-dampaknya, bergulir makin deras. Dampak tersebut sering kali buruk, terutama bagi mereka yang “kecil” karena akan tergilas oleh roda-roda globalisasi ekonomi agar yang besar tetap berjaya. Dalam kacamata globalisasi ekonomi, yang besar selalu harus diselamatkan agar tidak jatuh. Menurut pendukung globalisasi, terlalu besar biaya yang harus ditanggung jika yang besar dibiarkan tumbang. Sedangkan yang kecil, meskipun mati tergencet, dianggap tidak berpengaruh bahkan mungkin tidak terdengar.
Kasus impor garam di atas adalah secuplik gambaran dampak negatif globalisasi ekonomi bagi kelompok kecil yang tidak mendapat bantuan untuk menghadapi persaingan, apalagi proteksi. Kasus impor garam yang meresahkan Pak Salim dan puluhan ribu petani lokal, bisa saja terjadi pula di sektor lainnya, termasuk tenaga kerja. Industri multinasional yang beroperasi di Indonesia, mungkin saja lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja asing daripada lokal. Alasannya, untuk memenuhi standar kompetensi.