Oleh: Fransiscus Go dan Hani Subagio [diambil dari buku Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah]
BPS tahun 2014 mencatat, dari 118,7 juta tenaga kerja nasional, sebanyak 47,5 juta orang (40,19%) bekerja di sektor formal dan 70,7 juta orang (59,81%) bekerja di sektor informal. Di sektor ini, ada pedagang asongan, tukang jamu, sopir angkot, kenek, tukang jahit, dan lain-lainnya. Intinya modal besar atau arus investasi yang mengalir masuk ke sektor industri ekstraktif (pengelolaan sumber kekayaan alam), agrobisnis, dan sektor jasa belum mampu menggenjot pembukaan lapangan kerja secara luas.
Aliran investasi baru tersebut belum mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas yang dapat menyerap 7,2 juta penganggur terbuka. Hal ini disebabkan investasi yang masuk berupa investasi padat modal. Selain itu, penyerapan energi kerja tidak berbanding lurus dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2012 mungkin saja mencapai 6,23% dan paling cemerlang di suatu wilayah, namun masalahnya setiap pertumbuhan 1% hanya mampu menyerap 180.000 tenaga kerja. Artinya, penyerapan selama setahun masih di bawah satu juta. Menurut anggota Komite Ekonomi Nasional Agus Triyono, angka penyerapan pada tahun 2012 jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2010, ketika ekonomi tumbuh 6,1%, tenaga kerja yang diserap mencapai 500.000 orang. Tahun 2011, perekonomian tumbuh sebesar 6,5% dan mampu menyerap 225.000 tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi.
Lagi-lagi, karena kualitas tenaga kerja dipengaruhi oleh kualitas pendidikan maka semua faktor yang mempengaruhi akses pendidikan ikut memberi kontribusi. Akses pendidikan nyatanya belum merata karena beberapa faktor, seperti faktor geografis, motif ekonomi keluarga, atau infrastruktur fisik sekolah yang belum memadai.
Akibatnya struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah. Bila ini dibiarkan, daya saing dan indeks produktivitas serta tingkat penghasilan tenaga kerja Indonesia akan terus menurun.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi pendidikan yang ditunjukkan dengan data Angka Partisipasi Murni (APM) menggambarkan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin menurun partisipannya. Padahal, semakin tinggi pendidikan semakin besar peluang mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data kemiskinan terbuka, jumlah kemiskinan terdidik semakin menurun seiring dengan tingginya ketinggian pendidikan. Mereka yang terdidik memiliki lebih banyak pilihan dan peluang.
Ini belum bicara soal kompetensi tenaga kerja yang tersedia. Banyak tenaga kerja yang kompetensinya sangat kurang. Lulusan pendidikan formal maupun non-formal cenderung menjadi tenaga kerja yang belum siap pakai dan belum memiliki keterampilan. Tak heran jika jumlah kemiskinan terbuka masih mencapai 7,2 juta jiwa. Harus diakui, gelar sarjana pun masih banyak yang hilir mudik mencari pekerjaan. Hal ini terjadi karena kualitas lulusan pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Ada miss link and match antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.
Kondisi kualitas pekerja di atas telah mempengaruhi daya saing tenaga kerja Indonesia, khususnya di sektor industri. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan untuk jangka panjang, SDM lulusan Perguruan Tinggi semakin terpinggirkan dalam meraih kesempatan kerja di negeri sendiri. Pilihannya adalah menganggur atau mungkin harus berhubungan dengan menurunkan tingkat pekerjaannya, dari pekerja berkeahlian menjadi pekerja “kasar”. Namun, sesungguhnya ini sudah mulai terjadi. Bukan hanya Taufik, tetapi lulusan perguruan tinggi lainnya, pada akhirnya harus menjadi rela menjadi sopir taksi, tenaga pengamanan, dan office boy/office girl.
Para sarjana Indonesia berpotensi kalah bersaing dengan tenaga kerja asing yang semakin mudah masuk ke dalam negeri. Tidak ada jalan lain, peningkatan kompetensi tenaga kerja harus dilaksanakan secara komprehensif dan integral. Kompetensi ini meliputi peningkatan kompetensi tenaga kerja, guru/instruktur/pelatih, dan tidak menutup kemungkinan peningkatan kompetensi regulator ketenagakerjaan sendiri.
Faktor penting lainnya yang juga berpengaruh dalam pengembangan kualitas tenaga kerja adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat, hingga tahun 2012 jumlah lembaga pelatihan berdasarkan fungsi sebanyak 325 dan instansi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) sebanyak 3.066. Instruktur khusus bidang produktivitas hanya 90 orang untuk seluruh Indonesia. Itu belum apa-apa, sebab Kemenakertrans juga mengakui lembaga-lembaga pelatihan, seperti Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga, Diklat, dan pusat pelatihan belum berfungsi secara optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan pelatihan.
Selain itu, informasi tentang peta kualitas dan kuantitas SDM di sektor ekonomi belum tersedia secara rinci sehingga sulit untuk mempertemukan permintaan dan pasokan tenaga kerja secara lebih terarah. Hal ini tercantum dalam penjelasan Roadmap KADIN 2010-2014 bidang SDM. Padahal, tersedianya informasi yang jelas mengenai kebutuhan penyerapan tenaga kerja akan memudahkan pengenalan pelatihan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Hal penting lainnya adalah sinergi antarkementerian/lembaga, terkait pengembangan kualitas tenaga kerja. Namun, soal koordinasi antarlembaga di negeri ini belum banyak berubah. Masih seperti yang dulu. Belum terlihat adanya pelimpahan yang berwenang dan tanggung jawab secara tegas. Tidak jelas kementerian/lembaga yang bertugas menangani warga negara yang tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tenaga kerja yang tidak memiliki kompetensi. Akibatnya, kurang kerja sama lintas sektoral tersebut berimbas langsung pada kompetensi tenaga kerja.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan untuk menunjang keberadaan dan daya saing industri yang kuat. Tenaga kerja terampil dan industri yang kuat menjadi kunci peningkatan kualitas hidup bangsa dan ketahanan perekonomian nasional. Membayangkan industri bukan sekedar membangun pabrik, namun juga memperkuat tenaga kerja dan membangun iklim usaha yang menguntungkan.
Menurut pengusaha Rachmat Gobel, seperti disampaikan kepada Tabloid Inspirasi, untuk menyikapi perdagangan bebas, Pemerintah perlu melihat masalah yang dihadapi industri nasional dari sudut pandang yang lebih luas.
Menyiapkan kompetensi tenaga kerja sejak awal melalui pendidikan adalah mutlak. Tidak bisa ditawar jika ingin memenangkan dan merebut kesempatan kerja yang terbuka di berbagai bidang. Perkembangan yang cepat menuntut kesiapan dan kemampuan tenaga kerja berkualitas dan terampil.
Menyiapkan tenaga kerja yang terampil harus didukung oleh infrastruktur yang lebih baik, anggaran yang memadai, dan koordinasi lintas sektoral yang baik di antara para pemangku kepentingan. Kelak, tenaga kerja yang berkualitas dan kompeten akan meningkatkan daya dukung industri nasional sehingga tujuan pembangunan nasional yang dicita-citakan bersama, yaitu kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud