Dalam kisah-kisah kitab suci, kita mengenal figur-figur yang menuntun manusia keluar dari bahaya. Musa memimpin eksodus menuju tanah harapan; Nuh membangun bahtera untuk menjaga keberlangsungan hidup dari murka alam. Dua narasi ini, meski lahir dari ruang spiritual, menyimpan pola universal: kehadiran seseorang atau sekelompok orang yang menjadi jembatan keselamatan di tengah ketidakpastian.
Di zaman modern, “penyelamatan” tak lagi hadir dalam bentuk mukjizat besar, tetapi menjelma dalam dinamika ekonomi dan sosial. Tokoh bangsa seperti Gus Dur, juga para raksasa ekonomi seperti Mochtar Riady, Aguan (Sugianto Kusuma), Eka Tjipta Widjaja, Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Alim Markus, dan banyak lain yang jarang kita sebut dalam konteks kemanusiaan, sesungguhnya menjalankan fungsi yang serupa: mereka menegakkan ketahanan ekonomi, menjadi bantalan bagi jutaan orang agar tidak terperosok dalam bencana struktural bernama kemiskinan, pengangguran, dan kemandekan sosial.
Sebutan “Nabi” tentu milik ranah teologis yang tak boleh diganggu gugat. Namun dalam ruang sekuler, kita tetap bisa memberikan bentuk penghormatan yang lembut, dengan menyoroti kontribusi mereka terhadap keberlanjutan hidup bersama.
1. Begawan — The Sage of Wisdom Capital
Mereka adalah sosok yang sudah melampaui pencarian keuntungan jangka pendek. Pengalaman panjang membuat mereka menjadi kompas moral dan strategis bagi dunia usaha. Keberadaan mereka menimbulkan rasa percaya, bukan hanya bagi pasar, tetapi bagi orang banyak yang menggantungkan hidup pada keputusan-keputusan bisnis mereka.
2. Guru Bangsa — Builder of Social Capital
Gelar ini melekat kuat pada Gus Dur. Beliau tidak sekadar memecahkan masalah sosial; beliau membangun ruang bersama yang memungkinkan bangsa ini bertumbuh tanpa saling mencederai. Stabilitas dan toleransi yang ia perjuangkan adalah fondasi tak kasatmata yang membuat roda ekonomi dapat berputar tanpa terhalang konflik horizontal.
3. Pahlawan Ekonomi — Guardian against Recession
Para pengusaha besar ini adalah garda depan ketika badai ekonomi menghantam. Perusahaan mereka ibarat bahtera besar yang menampung jutaan pekerja, meredam gejolak PHK, dan menjaga dapur tetap mengepul saat pasar global limbung. Mereka menjadi penyangga yang merawat martabat manusia melalui keberlanjutan pekerjaan.
4. Arsitek Peradaban — Developer of Economic Ecosystems
Lebih dari sekadar membangun properti, figur seperti Aguan atau Eka Tjipta menciptakan ekosistem lengkap: kota mandiri, kawasan industri, pusat pertumbuhan baru. Di sekelilingnya lahir UMKM, sekolah, klinik, hingga ruang-ruang sosial baru. Lahan tidur berubah menjadi simpul produktivitas, menciptakan multiplier effect yang jangkauannya sering tak terlihat, namun sangat nyata.
5. Sang Pengampu — The Anchor of Stability
Mereka adalah penopang yang menjaga bangunan sosial tetap tegak. Kontribusi pajak, penciptaan devisa, hingga penyediaan lapangan kerja massal membuat mereka berperan sebagai jangkar yang mencegah masyarakat terhempas oleh ketimpangan.
Penutup
Adam Smith pernah berbicara tentang The Invisible Hand, tangan tak terlihat yang menata pasar. Namun dalam kenyataan sehari-hari, seringkali justru tangan-tangan yang terlihat dari para tokoh inilah yang membuat kehidupan banyak orang tetap terjaga.
Melalui keputusan bisnis, visi pembangunan, dan keberanian mengambil risiko, mereka menyalurkan rezeki, peluang, dan perlindungan ekonomi yang menyentuh ribuan keluarga di negeri ini.
Mungkin, jika kita melihatnya dengan hati yang lebih bening, di balik kerja keras mereka ada semacam “bisikan halus” yang membuat hidup kita menjadi sedikit lebih aman, sedikit lebih layak, dan sedikit lebih penuh harapan.





