Oleh: Fransiscus Go
Penulis dan Pemerhati Ketenagakerjaan
KOSADATA – Manusia yang sejatinya bermartabat luhur itu kini terjerembab dalam skema-skema manipulatif-eksploitatif. Demikianlah kiranya posisi orang-orang yang menjadi korban tindak pidana perdagangan manusia. Manusia sudah ibarat barang komoditas yang diperjualbelikan.
Tak ayal lagi di Nusa Tenggara Timur, praktek demikian menempati urutan tertinggi di Indonesia. Sebut saja koran TEMPO Sabtu, 2 Mei 2023 memberi judul “Darurat Perdagangan Orang di Nusa Tenggara” berdasarkan pantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Ke mana lagi harus menggantungkan harapan, ketika harga diri dan kemanusiaan dicabik-cabik oleh aksi tidak berperi kemanusiaan semacam ini?
Bukan Salah Pemerintah
Jika hendak kerja ke luar negeri, bisa mengikuti misalnya program G to G Korea dan Jepang yang dilaksanakan oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Dari sekian banyak kasus yang tercatat, tidak sedikit korban yang pergi ke luar negeri melalui jalur tak resmi. Mereka mengikuti agen-agen palsu, pergi dengan dokumen palsu dan melalui jalur tikus. Fenomena semacam ini tentu tidak terlacak dan meresahkan.
Mereka pergi bersama dengan janji-janji dan harapan bahwa akan ada hidup yang lebih baik manakala mereka sudah bekerja di luar negeri. Syahdan kenyataannya tidak demikian, mereka ditipu, diancam dan ditahan.
Berkas dan uang mereka disita oleh pihak yang mempekerjakan mereka. Dengan dalih mempertahankan diri, mereka terpaksa mengikuti apapun yang diminta oleh majikan tersebut. Sebagai budak, menjadi pekerja di hiburan malam, tidak digaji dan asal hidup saja sudah lebih dari cukup.
Akan tetapi mungkin tidak sedikit pula yang hendak keluar dari lingkaran setan tersebut. Ada yang berhasil pergi, ada yang tertangkap. Yang tertangkap inilah kemudian disiksa bahkan
hingga tak bernyawa, pulang tinggal nama dan keluarga berduka selamanya karena ia telah tiada.
Mereka yang pergi diam-diam tentu sulit dilacak oleh pemerintah. Aparat berwajib dalam hal ini polisi misalnya, hanya mungkin mencegah dan menindak jika ada pelaporan. Lembaga pemerintahan yang ada di daerah pun kiranya tidak sanggup untuk mengawasi orang keluar masuk satu per satu dan menanyakan kepada mereka, “hendak ke mana dan mau apa?”
Namun demikian inilah yang menjadi sisi lain dari hidup bersama, yaitu ada kelompok orang yang karena berbagai faktor mudah terbuai oleh iming-iming kesejahteraan di negeri seberang, sedemikian rupa sehingga, menjadi tidak mawas akan bahaya-bahaya tindak perdagangan manusia. Hal ini sedikit banyak juga diperparah oleh cerita-cerita tentang keberhasilan sanak keluarga atau orang-orang tertentu yang sukses lantaran bekerja di negara yang makmur.
Ini istilah baru yang bisa penulis usulkan sebagai jalan untuk melawan praktek perdagangan manusia. “Bajaga” berasal dari dua kata, yakni “baku” dan “jaga”. “Baku jaga” berarti saling menjaga. Kiranya orang NTT akan segera tahu maksud dari “Bajaga” ini.
Saling menjaga menjadi kesadaran yang penting dalam hidup bersama di masyarakat. Selain dalam kesadaran, saling menjaga tersebut bisa diwujudnyatakan dalam tindakan bahkan diragakan secara institusional.
Maksudnya ialah berhadapan dengan praktek terselubung perdagangan manusia, peran serta yang diharapkan bukan hanya datang dari pemerintah atau apparat
penegak hukum. Juga tidak bisa jika menunggu ketika ada kasus baru diusut, sementara korban sudah berjatuhan.
“Bajaga” memaksudkan fungsi saling menjaga sesama warga masyarakat, utamanya terkait bahaya human trafficking yang ada di lingkungan sekitar. Mulai dari lingkup yang kecil di RT dan RW misalnya, “Bajaga” ialah program 24 jam untuk mengawasi dan memastikan keamanan, juga orang keluar masuk lingkungan.
Mekanisme “Bajaga” bisa dengan menghidupkan ronda atau—seperti jaman dahulu hansip-hansip—yang memang bertugas untuk melindungi masyarakat kalau-kalau ada orang luar yang datang dengan intrik-intrik perdagangan manusia.
Mungkin orang-orang dalam program “Bajaga” ini bisa dipadankan dengan pecalang-pecalang di Bali. Mereka bisa ditugaskan oleh ketua RT dan RW, atau bahkan diberikan SK khusus dari Bupati atau Gubernur mengingat peran sentral mereka sebagai ujung tombak pengamanan.
“Bajaga” bisa menjadi program provinsi NTT yang serius hendak menghilangkan praktek perdagangan manusia. Lebih dari itu, program tersebut bisa dijadikan instruksi Gubernur dan disosialisasikan ke tingkat yang paling rendah untuk dilaksanakan.
Ketika secara serempak dan massif dijalankan, “Bajaga” sudah bukan lagi program pemerintah melainkan kebanggaan masyarakat NTT dalam menunaikan kebaikan dan menjaga keselamatan, tanggungjawab semua orang.
Di samping tentu saja pemerintah berupaya untuk meretas kemiskinan dengan terobosan-terobosan bidang ekonomi, “Bajaga” hadir sebagai upaya yang sadar dari semua elemen untuk pertama-tama melihat celah-celah, bahaya-bahaya dan intrik perdagangan manusia.
Kemudian setelah mensinyalir adanya potensi bahaya tersebut, tim “Bajaga” RT. X atau RW. Y misalnya, melaporkan ke polisi dan minta penanganan. Untuk ini tentu diperlukan pelatihan-pelatihan inteligen juga.
Singkatnya, jika ingin serius memberantas kasus perdagangan manusia di NTT, semua elemen masyarakat mestinya
dilibatkan. Penulis sebagai yang sangat prihatin sekaligus peduli dengan problem ini mengusulkan “Bajaga” sebagai langkah taktis dan strategis yang bisa diterapkan di seantero NTT.
Dengan demikian hidup semakin baik dan tidak ada lagi orang yang termakan asupan jempol hingga akhirnya celaka karena kurang daya kritis dan sifat buruk agen-agen penyelundup tenaga kerja ilegal.***
Sumber : https://kosadata.com/read/gerakan-bajaga-melawan-human-trafficking