Oleh: Fransiscus Go
Kesehatan merupakan salah satu indikator yang menunjukkan tingkat pembangunan manusia di suatu daerah. Pelayanan kesehatan di suatu daerah yang baik, berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan ekonomi, yang pada gilirannya pembangunan ma- nusia di daerah tersebut juga turut meningkat. Indeks kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya bisa dilihat berdasarkan indeks pembangunan kesehatan. Tulisan ini hendak menunjukkan, bahwa kesehatan di wilayah perbatasan dan terluar seperti NTT perlu segera untuk ditingkatkan, demi menghargai anugerah hidup itu sendiri.
Potret aktual
Indikator kesehatan dalam pembangunan manusia di Provinsi NTT dapat diketahui melalui indeks rasio Posyandu terhadap penduduk, persentase balita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat dilahirkan, persentase rumah tangga yang menggunakan air minum layak, persentase rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi yang layak dan persentase APBD untuk kesehatan. Data menunjukkan bahwa kesehatan di NTT berdasarkan barometer tersebut masih memprihatinkan. Badan Pusat Statistik menunjukkan rata – rata rasio posyandu terhadap penduduk setiap kabupaten/ kota di Pronvinsi NTT yaitu sebesar 0,002 dimana Kabupaten Alor memiliki rasio tertinggi yaitu 0,00326 dengan indeks 0,52. Ketersediaan posyandu di NTT masih jauh dari kata cukup.
Selanjutnya rata rata persentase balita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat dilahirkan di NTT berkisaran 83% dengan persentase tertingginya di Kabupaten Flores Timur. Kemana yang 17%? Tidak lain dengan bidan tradisional dan sanitasi yang belum tentu terjamin. Sejatinya, angka yang tinggi terkait problem kesehatan di daerah saat ini perlu terus ditekan agar tidak menurunkan Index Pembangunan Manusia Indonesia. Pendidikan yang secara umum tertinggal dan kemiskinan yang masih merajalela menjadi penghalang dalam program peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia, utamanya di NTT. Tidak mengherankan kasus kematian ibu hamil, kematian bayi, kelahiran prematur dan kematian bayi/balita akibat gizi buruk merupakan dampak logis dari minim dan langkanya sarana dan akses kesehatan yang paling standar sekalipun.
Sanitasi dan Air Bersih
Hidup yang baik dan layak disokong oleh berbagai faktor. Merentang dari rasio posyandu terhadap penduduk, persentase balita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat dilahirkan, persentase rumah tangga yang menggunakan air minum layak, persentase rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi yang layak dan persentase APBD untuk kesehatan. Contohnya tasecara umum persentase akses air minum yang layak di Provinsi NTT sebesar 71,24% dengan indeks 0,71 dimana baru 71 dari 100 rumah tangga yang dapat mengaksesnya. Persentase akses air minum layak terendah di Kabupaten Sumba Barat Daya dengan nilai 46,71%. Kelangkaan air bersih tentunya sangat berdampak pada kesehatan semua orang.
Maka, memikirkan kesehatan ibu hamil, kecukupan gizi anak balita, akses pelayanan kesehatan menjadi minim substansi, bila akses air bersih saja masih sulit. Kesulitan lainnya ditambah lagi karena banyak pulau, sehingga ketersediaan alat kesehatan jadi minim, dan obat yang belum memadai. Belum lagi soal kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan, belum begitu mengakar. Dengan demikian, dapat diketahui permasalahan – permasalahan kesehatan yang ada, serta dapat diupayakan apa yang perlu dilakukan untuk menanggulangi, serta mengatasi permasalahan tersebut di wilayah NTT. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan indikator kesehatan dalam pembangunan manusia, yaitu meningkatkan kesadaran berpola hidup sehat dan peningkatan pelayanan kesehatan.
Akar Stunting
Baru sekira setengah dari seluruh penduduk NTT yang menerapkan sistem sanitasi hidup yang baik. Persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak secara di Provinsi NTT, yaitu sebesar 50,47% dengan nilai terendah di Kabupaten Manggarai Timur, yakni sebesar 10,83%. Hal ini tentu berdampak pada gizi dan imunitas yang rentan. Jika pola hidup para orang tua tidak sehat, maka anak yang dilahirkan dan dibesarkan pun akan mengalami situasi yang kurang lebih sama. Upaya strategis Kabupaten Belu menganggarkan APBD untuk bidang kesehatan misalnya, bisa dibilang tertinggi di antara kabupaten lain di NTT. Yaitu sebesar 24,82% untuk peningkatan pelayanan kesehatan. Hal ini mengindikasikan, pemerintah juga menyadari problem kesehatan yang sedang mengitari wilayahnya, sebab akar dari stunting dan penyebab yang menyertainya ialah dari pola hidup dan ketersediaan akses kesehatan tadi itu.
Meningkatkan IPK
Air yang bersih, pola hidup yang sehat, layanan posyandu yang merata dan ketersediaan akses yang mudah dan cepat ke obat dan alat kesehatan menjadi faktor penentu kesehatan suatu daerah. Jika NTT ingin terbebas dari persoalan kesehatan, peningkatan Indeks Pembangunan Kesehatan (IPK) wajib untuk dilakukan. Terdapat empat dari 22 kabupaten/kota di NTT yang memiliki klasifikasi IPK rendah (0.37-0.48), yakni Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Manggarai Timur, dan Kabupaten Sabu Raijua. Karena itu, jika kita fokus agar pada dekade berikutnya tidak terlahir lagi balita stunting, karena generasi penerus bangsa tidak seorang pun semestinya demikian, maka solusinya ialah menaikkan IPK di atas. Jika bisa potong mata rantai ini, diyakini bangsa kita bisa bebas dari kesulitan hidup karena generasi muda ke depan sudah terbebas dari stunting. Hal ini akan beriringan dengan peningkatan taraf hidup segala bidang, tingkat intelegensia terdukung dan kesadaran akan kesehatan masyarakat meningkat.
Gagasan penulis ini sekedar pemantik, mengikuti langkah yang sudah digariskan Kemenkes RI. Konkretnya, perlu aksi nyata dan keseriusan pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak pengentasan stunting, dan peningkatan mutu kesehatan di wilayahnya. Ibu-ibu hamil sudah seyogianya diintervensi melalui program-program utama Pemerintah Daerah. Kesehatan balita juga wajib digarap secara serius lewat program-program handal, yang mestinya giat dikerjakan Pemerintah Daerah beserta jajaran stakeholder di wilayah masing-masing.
Ketersediaan dan akses masyarakat mendapatkan kecukupan protein, kemudahan mengonsumsi gizi di pedalaman, mudah dan murahnya fasilitas kesehatan menjadi indikator kinerja petugas kesehatan di lapangan dan harus bisa diukur berdasarkan kebijakan-kebijakan dan monitoring serta mentoring dari Pemda.
Mari basodara semua Katong BAKU JAGA (BA-JAGA)..!
Sumber: Timor Express