Skip to content

Memburu Kerja di Bursa

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]

Perempuan, laki-laki, wajah-wajah muda hingga setengah baya, berbaur menjadi satu membentuk barisan sepanjang belasan meter. Meski panas menyengat, mereka tertib mengantre dalam empat lajur yang saling bersambung di ujungnya. Pakaian yang semula rapi, perlahan mulai kusut terkena keringat. Mereka adalah rombongan pembeli karcis masuk, bursa lowongan kerja gelombang tiga di sebuah gedung di salah satu sudut Jakarta Selatan.

Di dalam, lebih dari 1000 orang terlihat sibuk mendatangi meja demi meja, booth demi booth, memelototi pengumuman yang dipasang oleh 40 perusahaan penyedia kerja. “Silakan tinggalkan CV-nya Mas, sebaiknya dalam bentuk soft copy. Bawa USB?” tanya salah satu petugas dari perusahaan shiping line untuk ke sekian kalinya hari itu. Ada 28 lowongan yang tersedia dari perusahaan tersebut. “Bawa Mba, “jawab Wawan singkat. Lulusan S-1 akuntansi satu tahun silam ini, sama sekali belum pernah mencicipi dunia kerja. Dengan sabar Wawan mendatangi setiap booth yang ada, hingga booth ke-14, untuk menitipkan CV yang sudah disiapkan dari rumah. Mereka yang senasib dengan Wawan juga hadir di lokasi yang sama hari itu, termasuk lebih dari 1000 orang gelombang pertama yang sudah lebih dulu masuk.

Itu pemandangan hari pertama dari rangkaian bursa kerja yang diselenggarakan perusahaan Head Hunter selama tiga hari. Dua puluh ribu tiket seharga Rp30.000,- per lembar telah habis sejak dua pekan sebelum bursa dibuka. Total lowongan yang tersedia dari bursa ini sekitar 1200-an posisi. Satu posisi rata-rata diperebutkan oleh 18 orang. Itu belum termasuk mereka yang kehabisan tiket masuk.

Pemandangan serupa selalu terjadi di setiap penyelenggaraan bursa kerja. Faktanya, angkatan kerja Indonesia setiap tahun terus membludak di pasaran. Pertumbuhan tenaga kerja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan kerap timpang. Jumlah angkatan kerja muda yang mencari pekerjaan membumbung melampaui lapangan kerja yang tersedia. Sesungguhnya lapangan pekerjaan ada, tapi tidak dapat menyerap jutaan tenaga kerja muda yang muncul setiap tahun. Ada banyak alasan, baik kualitas tenaga kerja yang tidak memenuhi syarat, maupun informasi yang tidak tersedia. Angkatan kerja baru melaju berkali-kali lipat dibanding lapangan kerja yang ada.

Masalah yang melingkupi tenaga kerja seolah tiada akhir dan menjadi isu panas bagi setiap rezim pemerintah dari tahun ke tahun. Tidak jarang isu itu diracik menjadi bahan hantaman politik pada setiap rezim. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk yang tinggi, serta masalah tenaga kerja selalu mendorong eskalasi masalah-masalah baru. Pertanyaannya, kenapa tingkat prestasi penyerapan tenaga kerja tidak disandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, sebagai ukuran keberhasilan setiap rezim pemerintahan di negara kita?

Pengangguran yang terus muncul dan cenderung meningkat membawa dampak sosial yang juga setara dengan tingkat pengangguran itu sendiri, plus meningkatnya biaya hidup sehari-hari. Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki banyak opsi untuk mengatasi pengangguran jangka panjang. Jika diamati, pemerintah hanya berperan menjadi pemadam kebakaran dengan menyediakan lapangan pekerjaan jangka pendek seperti padat karya. Belum terlihat secara gamblang lembaga atau kementerian apa yang bertanggung jawab penuh atas kegagalan pengentasan pengangguran ini.

Tidak ada yang salah dengan konsep padat karya. Namun, solusi ini hanya bersifat temporer untuk urusan ketersediaan lapangan pekerjaan. Hanya dinikmati sesaat, setelah itu kembali ke siklus lama, menganggur. Padahal, yang dibutuhkan kelompok muda pencari kerja adalah lapangan pekerjaan yang dapat menjamin kelangsungan hidup mereka hingga hari tua.

Gap antara realitas yang dihadapi masyarakat pencari kerja, termasuk angkatan muda, dengan keinginan dan harapan mereka seolah tak pernah usai. Keinginan melambung tinggi, tetapi realitas masih terjerembab. Status pengangguran pun terus disandang. Pemerintah dan dunia usaha tidak mampu memenuhi harapan lantaran berbagai keterbatasan yang mereka miliki, maupun keterbatasan dari angkatan kerja itu sendiri.

Selain gap di atas, masih juga terjadi gap besar disparitas upah pekerja. Bak sinetron bersambung, setiap tahun selalu terlihat demonstrasi buruh besar-besaran di jalan-jalan protokol kota-kota besar memperjuangkan kenaikan upah minimum regional disambut dengan pro kontra dalam penentuan indeks kelayakan hidup yang minimum.

Tidak mengherankan bila Job Fair, baik yang dibuka pemerintah maupun swasta, diserbu pencari kerja, seperti digambarkan di atas. Angkatan muda pencari kerja seolah mendapat angin segar untuk membunuh dahaga akan pekerjaan yang mereka impikan. Job Fair seolah-olah menjadi dewa penyelamat dari bencana pengangguran.

Secara konsepsi, Job Fair memang menjadi ajang yang tepat bagi perusahaan dan pencari kerja. Job Fair menjadi pasar yang mempertemukan pencari kerja dengan lapangan pekerjaan yang mungkin tersedia bagi mereka yang memenuhi syarat. Kenyataannya, Job Fair bukan tanpa masalah. Tetap saja jumlah lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan pengunjung yang datang. Paling banter hanya 5% dari total pelamar yang mendapat pekerjaan. Lantas 95% sisanya ke mana? Kembali berjuang mengais peluang. Masalah lain adalah adanya peluang bagi yang nakal untuk mengambil keuntungan di tengah kesulitan hidup para pencari kerja ini. Ada penyelenggara Job Fair yang memperdagangkan Job Fair untuk mengeruk keuntungan dari membludaknya pencari kerja. Ada banyak bentuk kutipan dana dari pencari kerja yang harus dibayarkan kepada penyelenggara, seperti uang pendaftaran, uang partisipasi, tiket masuk, ataupun nama lainnya. Intinya, meminta para pencari kerja untuk membayar sejumlah uang kepada pihak penyelenggara. Begitu juga kutipan-kutipan biaya non- resmi yang dijalankan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia untuk penempatan kerja di luar negeri.

Dengan jumlah pencari kerja yang mencapai ribuan orang setiap kali Job Fair digelar, dipastikan penyelenggara memperoleh keuntungan besar. Persoalannya bukan pada besarnya jumlah uang yang dikumpulkan penyelenggara atau berapa jumlah uang yang dikeluarkan oleh pencari kerja. Konsep Job Fair adalah membantu pencari kerja yang tidak hanya kesulitan pekerjaan, tetapi juga mengalami kesulitan hidup. Kok tega ya, sudah hidup sulit masih dibebani dampak aksi komersial dari pihak yang kurang bertanggung jawab.

Idealnya, Job Fair harus memperlihatkan fairness bagi pencari kerja. Penyelenggara tidak boleh memungut biaya sepeser pun dari peserta. Gratis harus menjadi konsep dasar Job Fair sehingga tidak menjadi ajang setengah penipuan kepada pencari kerja. Mengapa?

Setelah mengantre sekian lama, lelah menyiapkan dokumen, hingga mengikuti wawancara dengan perusahaan yang dituju, hasilnya tetap nihil alias gagal. Pencari kerja kehilangan ganda, uang dan kesempatan untuk memperoleh kerja. Sementara penyelenggara Job Fair menikmati keuntungan dari rasa lelah dan kecewa mereka. Job Fair semestinya menjadi bursa atau festival pencarian kerja yang benar-benar adil dan tidak harus mengeluarkan biaya tambahan apa pun. Job Fair juga harus menjadi ajang untuk mengukur kualitas individu calon tenaga kerja.

Perusahaan atau pihak yang membutuhkan tenaga kerja mengharuskan calon tenaga kerja memiliki kriteria standar, seperti tingkat pendidikan, know how, sikap atau karakter, dan kriteria lainnya tanpa intervensi. Fair artinya tidak ada campur tangan dari pihak mana pun dalam proses rekrutmen, baik Disnaker, penyelenggara, maupun pihak lainnya. Pertemuan antara pihak pencari tenaga kerja dengan tenaga kerja cukup berdasarkan standar ketenagakerjaan yang diperlukan. Itu saja. Fair, bukan Job Unfair.

Berita Terkait

TERKINI