Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]
Hari-hari pasca-lebaran kerap menjadi berita, termasuk memperlihatkan para pendatang di terminal dan stasiun kereta, menenteng dus dan koper untuk mengadu nasib dan mengais rezeki di kota-kota besar di Pulau Jawa. Sesekali siaran berita juga memperlihatkan aksi Operasi Yustisi, Operasi Pamong Praja untuk menghambat arus urbanisasi.
Jakarta Transportation Watch (JTW) memprediksi jumlah pendatang illegal akan mengalami peningkatan dengan membonceng arus balik. Menurut Dishubtrans DKI Jakarta prediksi pendatang ilegal tersebut berdasarkan data jumlah pemudik yang meninggalkan Jakarta pada musim mudik tahun 2015, mencapai 6.532.403 orang. Dalam keterangan tertulisnya, Ketua JTW, Andy W Sinaga, mengatakan, biasanya para pemudik akan membawa sanak saudaranya ketika arus balik ke Jakarta. Jika yang datang sekitar 10% saja maka Jakarta akan diserbu oleh 600 ribu pendatang ilegal. Mayoritas datang dari berbagai tempat di Pulau Jawa dan Sumatera.
Mengapa petani lebih senang mencangkul di kota besar ketimbang di desanya padahal program ketersediaan pangan oleh kabinet kerja Presiden Jokowi merupakan program unggulan yang mutlak dilakukan? Lalu, siapa yang mau menanam padi di sawah-sawah yang ada di desa?
Upah buruh tani jauh lebih kecil dari upah buruh konstruksi di kota besar. Data sosial ekonomi BPS Mei 2015 memperlihatkan, rata-rata upah nominal harian buruh tani adalah sebesar Rp46.386,-, sedangkan rata-rata upah nominal harian buruh bangunan di perkotaan pada periode yang sama sebesar Rp80.087,-. Cukup fantastis bukan?
Urbanisasi memang menjadi persoalan yang sangat serius bagi Indonesia. Dari waktu ke waktu, penduduk desa terus berbondong- bondong masuk kota. Desa yang mereka banggakan tidak cukup memberi kehidupan yang lebih baik. Kota menjadi tujuan baru untuk mewujudkan impian mereka. Kehidupan di desa seolah sudah menjadi masa lalu.
“Lha mau ngapain di kampung, sawah tak punya, jadi PNS tak cukup ijazah SMU,” dalih Niken yang baru saja datang dari Klaten.
“Bukankah di Klaten banyak industri tekstil?”
“Ada, bukan banyak. Industri lain juga banyak, tapi yang nganggur lebih banyak lagi”
“Mau melamar kerjaan apa?”
“Ealaah Pak, ya apa saja. Saya ini cuma punya pengalaman jadi penjaga toko, kalau di sini kan toko lebih banyak, nampung pegawainya ya pasti lebih banyak to?” tanya Niken balik
“Bagaimana kalau yang melamar jadi penjaga toko berlipat-lipat lebih banyak daripada di Klaten?”
“Kenapa to’ Pak, kok kayaknya mau nakut-nakuti saya di Jakarta susah nyari kerjaan?” Niken memperlihatkan sorot mata tajam
“Bukan, cuma tanya-tanya saja. Bila nanti tidak dapat pekerjaan mau ngapain?”
“Ya ngga tahu, tapi ya pasti dapat. Kalau tidak ya jadi pelayan warung bakso teman atau warung sup ayam. Kebetulan ada juragan bakso dan sup ayam dari Klaten, teman-teman saya bilang akan buka cabang baru, jadi pasti kerja to?” kalimat itu terlontar ringan. Niken yakin Jakarta adalah masa depannya, terbukti atau tidak.
Faktanya, persebaran penduduk yang makin memusat ke kota menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Jumlah penduduk kota yang meningkat signifikan tidak didukung oleh penyediaan lapangan pekerjaan, fasilitas umum, perumahan, pangan, pendidikan, dan lain sebagainya. Kota menjadi ruwet. Kemiskinan dan pengangguran berpindah. Kawasan kumuh dan kaki lima bermunculan. Biasanya kejahatan atau kriminalitas pun bermunculan. Beban kota semakin berat.
Kondisi kota besar yang sebenarnya juga sangat ganas tidak meluruhkan semangat orang desa untuk bertarung di kota. Daya tarik kota lebih memesona lantaran memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Selain itu, lapangan pekerjaan yang banyak dan beragam, serta lembaga pendidikan dengan kualitas tinggi yang juga tersebar di mana- mana, membuat magnet Jakarta semakin besar.
Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, gagal menciptakan magnet pembangunan baru di desa-desa. Padahal, tantangan meredam urbanisasi ada di tangan mereka. Untuk itu, pemerintah harus segera meningkatkan akselerasi pembangunan di desa sehingga masyarakat desa tetap mencintai desanya dan tidak eksodus ke daerah perkotaan. Pemerintah harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan, menyediakan fasilitas publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang memadai. Kondisi-kondisi minimal ini dapat menekan keinginan masyarakat desa untuk datang ke kota.
Tenaga kerja di bidang pertanian dan perikanan wajib dikendalikan, tidak hanya dengan menjaga disparitas dana desa/dana kota di APBN saja. Upaya penyediaan lapangan kerja di desa, terkait upah, daya absorbsi hasil pertanian rakyat, dan inflasi di desa juga harus terus dijaga. Siapa yang melakukan pemantauan ini?