Skip to content
Prioritas Tenaga Kerja Lokal

Prioritas Tenaga Kerja Lokal

  • by

Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]

“Sudah siap menghadapi MEA Ndra, katanya sudah mau lulus kuliah?”

“MEA apa? Mia atau MEA?” balas Indra, mahasiswa akuntansi yang sedang tugas akhir.

“Tidak baca koran atau lihat TV? Bukan sinetron, tapi beritanya.”

“Lihat, tapi malas lama-lama, isinya anggota DPR berantem, korupsi, si MEA itu biasanya di halaman berapa kalau di koran? Saya sih lebih suka lihat lowongan pekerjaan.”

“Di halaman ekonomi, mungkin juga di halaman depan headlines. MEA itu ya ada hubungannya dengan lowongan pekerjaan, selepas Desember 2015.”

“Ohh, bisa dijelaskan?”

Bukan isapan jempol, masih ada yang belum paham tentang MEA (ASEAN Economic Community) yang akan dimulai Desember 2015 ini, termasuk di kalangan angkatan kerja muda yang akan terkena dampak. Padahal, MEA sudah ada di depan pintu, tinggal tunggu gong peresmian untuk diberlakukan. Jika saat itu tiba, kita tidak bisa menunda, meski hanya sekadar minta waktu buat berkenalan atau uji coba. Ketika negara tidak bisa menolak pasar bebas, negara harus menghadapi dan menerima kenyataan. Sine qua non, suatu keadaan yang mau tidak mau harus diterima. Menolak pasar bebas sama saja mengisolasi diri dari berbagai rimba ekonomi dunia. Mustahil dilakukan. Semakin kita menjauh dari pasar bebas, semakin kita tertinggal. Satu-satunya cara adalah menerima dan menghadapinya dengan tegar. Semua negara di dunia pun menghadapi problem globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Tidak terkecuali negara-negara maju. Hanya kadarnya berbeda-beda.

Dalam kondisi demikian, maka dasar pemikiran negara dan masyarakat Indonesia adalah memperkuat ketahanan negara untuk menghadapi badai pasar bebas dan globalisasi. Tidak mungkin kita dapat menolak kehadiran mereka. Akan tetapi, kita dapat menyiasati kehadiran mereka dengan cara memperkuat ketahanan lokal.

Sejatinya ada barriers. Namun, barriers yang dipasang tidak boleh melanggar kesepakatan pasar bebas dan globalisasi. Salah satu cara adalah dengan memberikan prioritas kepada tenaga kerja lokal. Warga Negara Indonesia harus diberi kesempatan pertama dan utama dalam proses rekrutmen tenaga kerja di berbagai perusahaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Apakah negara dapat mewajibkan setiap tenaga kerja mampu berbahasa Indonesia?

Para pengusaha harus diberitahu, diketuk hatinya, dan diperlihatkan dampaknya bagi negara, jika dalam proses rekrutmen, mereka mengabaikan tenaga kerja lokal. Dampak tentang pengangguran merata akan berujung pada masalah sosial dan kemiskinan.

Pada sebuah jam makan siang di salah satu mal di jantung kota Jakarta, beberapa lelaki dan perempuan berwajah barat, menikmati menu-menu impor. Di antara mereka, ada dua pekerja Indonesia. Mereka adalah para manajer dan supervisor hotel dari tempat yang sama. General manajernya dari Indonesia, tetapi beberapa manajer di bawahnya berasal dari luar Indonesia alias asing. Harus diakui, kini level untuk manajer hotel pun, banyak perusahaan memilih memakai tenaga asing. Padahal, jika proses rekrutmen dilakukan secara sungguh-sungguh, banyak juga SDM lokal yang memenuhi syarat. Harus ada kesadaran dan kebijakan dari perusahaan untuk memberikan prioritas kepada tenaga kerja lokal. Apalagi jika tenaga kerja lokal mampu meng-handle pekerjaan, sebaiknya tidak diberikan kepada tenaga kerja asing. Pemerintah pun seharusnya memberikan program-program penghargaan atau insentif istimewa kepada pengusaha lokal yang 100% mempekerjakan tenaga kerja lokal.

Memang ini bukan perkara mudah. Ada banyak kendala yang dihadapi oleh perusahaan menyangkut kualitas SDM, kapasitas intelektual, budaya kerja, dan mentalitas tenaga kerja Indonesia. Belum lagi soal know how atau keterampilan tenaga kerja lokal yang bisa saja sangat terbatas. Entah mengapa tenaga berkualitas dari tanah air tidak bertemu dengan para pencari SDM yang membutuhkan. Dalam konteks perusahaan, tentu tidak bisa dipaksa untuk memakai sembarang tenaga kerja lokal. Mereka memikirkan juga kelangsungan usaha dan perusahaan di masa depan.

Yang terpenting adalah harus ada upaya sungguh-sungguh dari perusahaan-perusahaan nasional untuk memberikan kesempatan kepada angkatan muda tanah air dalam bekerja. Mindset ini yang pertama kali harus tertanam. Oke, persoalan tenaga kerja ketika ditarik ke masalah nasionalisme bisa jadi terlalu jauh. Namun, dalam konteks pasar bebas dan globalisasi yang tidak lagi mengenal batas-batas geografis negara, mengaitkan tenaga kerja dan nasionalisme menjadi sangat relevan.

Nasionalisme tentu saja tidak lagi soal bela negara dengan mengangkat senjata. Namun, bela negara dengan menyingsingkan lengan baju untuk mengatasi pengangguran yang membahayakan ketahanan ekonomi negara. Nasionalisme dihubungkan dengan memberikan lapangan pekerjaan pertama kepada saudara-saudaramu, sebangsa dan setanah air. Ini konsep nasionalisme baru, melawan hegemoni ekonomi dari negara- negara kuat. Melawan kapitalisme ekonomi tidak lagi dengan slogan atau pekikan kebangsaan, tetapi dengan mempersiapkan generasi muda yang mampu bekerja lintas negara dan memenangkan setiap rupiah.

Bangsa ini harus dipercaya sekaligus percaya diri. Termasuk di dalamnya adalah percaya dengan kemampuan pemuda-pemudi dalam mengendalikan usaha, percaya bahwa tenaga kerja lokal juga bisa diandalkan. Jika ada kelemahan, selayaknya ditelaah untuk dibenahi sehingga mereka memiliki daya saing. Ada banyak mekanisme yang dapat dilakukan di perusahaan, dari work shop, training, bahkan coaching yang dapat menggenjot kemampuan SDM lokal menjadi setara.

Membandingkan tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing kerap tidak menjadi simetris. Persoalan Indonesia adalah melimpahnya supply tenaga kerja lokal dengan rata-rata berpendidikan rendah dan skill terbatas. Di ujung lainnya, tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia adalah tenaga kerja dengan standar pendidikan dan skill tinggi. Pertanyaannya, apakah tidak ada supply tenaga kerja Indonesia yang tersedia dengan kemampuan intelektual dan skill tinggi? Atau sebenarnya ada, sporadis, tersembunyi, tidak terlacak, lantaran kita tidak memiliki database tentang ketenagakerjaan?

Negara lain tentu tidak mungkin mengekspor tenaga kerja unskilled labor ke Indonesia karena mereka paham Indonesia sudah berkelimpahan. Mereka mengirimkan SDM jebolan pendidikan tinggi dan memiliki skill mumpuni. Ini menjadi tantangan kita untuk melihat kekuatan tenaga kerja yang juga berpendidikan tinggi, tetapi masih banyak menganggur agar diberi kesempatan bekerja dan menunjukkan kemampuan mereka.

Profesor Johanes Surya yang mengantar para pelajar menjadi pemenang olimpiade, ilmuwan, dan berbagai pakar di bidangnya, mengakui banyak anak didiknya memilih bekerja di luar negeri. Kepada KBR (Kantor Berita Radio) Prof. Yohanes menegaskan, kemampuan anak Indonesia setara dengan negara lainnya. Ketertinggalan terjadi karena salah dalam mendidik. Itu sebabnya, anak yang belum bisa baca tulis dari Papua, setelah belajar bersama Prof. Yohanes, mampu menjelma menjadi juara olimpiade. Dengan pendidikan yang tepat, Prof. Yohanes membuktikan telah menghasilkan SDM yang diincar perusahaan besar tingkat dunia. “Mereka tidak melupakan Indonesia, tetap berkontribusi, membantu saya memajukan anak-anak lainnya.” Prof. Yohanes mengakui, penghargaan di tanah air tidak sepadan dengan remunerasi yang diperoleh jika para profesional bekerja di luar negeri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *