JAKARTA – Tanggal 1 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia atau “May Day”. Pada hari-hari khusus ini, biasanya para buruh menggelar berbagai aksi, dan yang paling intens adalah aksi kompresi yang menuntut kenaikan upah minimum regional atau upah minimum provinsi (UMP).
Tuntutan kenaikan upah ini disampaikan, karena para buruh merasa belum mendapatkan upah yang layak, yang bisa membuat kehidupan para buruh menjadi lebih baik dan sejahtera. Penetapan besaran UMR atau UMP dirasa masih belum adil bagi para buruh atau pekerja..
Dikutip dari TeropongNTT, dedikasi perjuangan para buruh dalam menuntut hak-hak mereka ini, memantik respon dari Ir. Fransiscus Go, SH, pemerhati masalah ketenaga-kerjaan. Fransiscus Go berharap, besaran upah buruh bisa berimbang dengan tingkat kesejahteraan buruh atau perkerja itu sendiri.
“Dalam kesempatan Hari Buruh ini, harapan saya, buruh informal seperti layaknya seorang tukang ojek atau sopir, dapat memperoleh perlindungan kesehatan yang optimal dari pelaku usaha atau pemerintah setempat. Ini penting, agar antara upah dan kesejahteraan para buruh, bisa berimbang,” kata Fransiscus Go.
Komentar sentuhan Bakal Calon Gubernur NTT ini memang sejalan dengan harapan para buruh atau pekerja. Harapan akan besarnya upah yang berimbang dengan tingkat kesejahteraan pekerja, meskipun buruh selalu berada pada posisi yang lemah dalam memuat dan perjuangan tentang besaran UMR/UMP.
“Kaum buruh atau pekerja selalu di posisi yang ‘lemah’. Oleh karena itu, mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah dan pengusaha, demi keadilan yang bersifat universal dan tidak memandang status sosial maupun kepentingan,’ kata Fransiscus Go.
Selain menyinggung soal besaran upah buruh atau pekerja, pada peringatan Hari Buruh Sedunia ini, Fransiscus Go juga bermentar terkait pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang sering menjadi korban perdagangan manusia. Menurut Fransiscus Go, para pekerja migran perlu dilindungi agar tidak dimanfaatkan bagi pelaku perdagangan manusia.
Saat ini, Fransiscus Go juga telah menggagas sebuah program yang diberi nama “Bajaga”. Sebuah gerakan yang bermula dari kekhawatiran Fransiscus Go terhadap praktik perdagangan orang yang terjadi di wilayah NTT, khususnya dengan kedok penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.
“Garda Baku Jaga atau Bajaga tidak sekedar langkah, tetapi sebuah perisai gagah dalam perlawanan terhadap Perdagangan Manusia,” kata Ir. Fransiscus Go, SH, yang juga merupakan pendiri Yayasan Feliks Maria Go, sebuah lembaga yang memberi perhatian pada pelayanan sosial dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Dengan menggalang kerjasama, menyebarkan pengetahuan, dan melakukan tindakan nyata, kata Fransiscus Go, Bajaga bukan sekedar potensi, melainkan pahlawan utama yang berdiri di garis terdepan, melindungi masyarakat dari ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).***