Skip to content

Berharap Memiliki SDM Berkualitas

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Fransiscus Go (diambil dari buku “Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah”)

Institusi pendidikan tidak akan mungkin dapat meluluskan SDM IT siap pakai, dalam pengertian terampil menangani dan memiliki cukup pengetahuan mengenai peralatan IT di tempat kerja, mengingat sifat dinamis dari IT itu sendiri. Namun, saya yakin bisa disusun kurikulum sedemikian rupa agar lulusan institusi tersebut siap kerja.

Pernyataan tersebut disampaikan pakar IT, Bambang Nurcahyo Prastowo, menjawab pertanyaan Majalah E-Indonesia. Boleh jadi pernyataan itu menggambarkan harapan agar ke depan lembaga pendidikan negeri ini mampu mencetak tenaga siap pakai. Akan tetapi, bertahun-tahun perjalanan menuju ke sana sudah berlangsung, hasilnya masih tertatih-tatih. Itu sebabnya, Indonesia masih harus menghadapi sejumlah tantangan berat, baik di tingkat nasional maupun global.

Tantangan utama pada tingkat nasional adalah terbatasnya kualitas tenaga kerja, tingginya angka pengangguran terselubung, ketimpangan pendapatan masyarakat, dan pembagunan yang belum merata. Sedangkan pada tingkat global, Indonesia menghadapi kecenderungan defisit neraca pembayaran dan ketidaksiapan menghadapi globalisasi, khususnya ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015.

Untuk itu, dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional, persaingan regional dan global khususnya terkait kondisi industri dan kebijakan tenaga kerja sektor industri, diperlukan tenaga kerja yang berkualitas, yaitu tenaga kerja yang produktif, memiliki kompetensi, dan memiliki daya saing. Pilar utama daya saing bangsa adalah kesiapan SDM yang tercermin dalam kualitas tenaga kerja dan penguasaan teknologi.

BPS mencatat, angkatan kerja meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2012, seiring terjadinya penyerapan tenaga kerja. Namun, tidak sepenuhnya angkatan kerja ini bekerja sehingga sebetulnya mereka masuk dalam pengangguran terbuka.

BPS juga mencatat, penyerapan terbanyak terpusat di sektor pengelolaan Sumber Kekayaan Alam (SKA), seperti pertanian, perkebunan, dan lain-lain yang mencapai hampir 40 juta orang. Berikutnya, diikuti sektor perdagangan, jasa kemasyarakatan, dan industri. Sektor kerja ini bersifat padat karya dan tidak membutuhkan keahlian. Sementara sektor industri seperti pertambangan, keuangan, dan komunikasi, dengan persoalan daya saingnya sangat membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan spesifik sesuai kebutuhan dunia usaha/ industri, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Tenaga yang terserap di sektor keuangan, real estate, dan lainnya kurang dari 5 juta orang, baik berdasarkan data Agustus 2011 maupun Agustus 2012. Jumlah serapan pada sektor pertambangan jauh lebih sedikit lagi. Jumlah pekerja sektor informal seperti Mamat sangat dominan.

Sejak krisis moneter pada 1998 silam, sektor informal diakui turut menyelamatkan Indonesia dari krisis. Hingga kini pun, sektor informal masih dominan. Data Badan Pusat Statistik Februari 2014 memperlihatkan angkatan kerja mencapai angka 118,17 juta orang. Rinciannya, 47,5 juta warga bekerja di sektor formal, sedangkan 70,7 juta sisanya bekerja di sektor informal.

Salah satu penyebab tenaga kerja informal lebih besar daripada tenaga kerja formal, antara lain karena tenaga kerja berpendidikan rendah tidak dapat memasuki lapangan kerja formal. Mamat, si tukang Siomay mengaku sudah berkali-kali melamar kerja di pabrik. Namun, tingkat pendidikannya yang rendah tidak dapat menghantarnya memenuhi kualifikasi atau standar tuntutan kerja sesuai kebutuhan dunia usaha/industri. Tenaga kerja Indonesia didominasi oleh lulusan berpendidikan rendah.

Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja. Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan sehingga menambah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Data memperlihatkan bahwa faktor pendidikan berhubungan erat dengan meningkatnya TPT. Rendahnya pendidikan memperbesar kemungkinan bertambahnya TPT. Angkatan kerja di luar sektor formal maupun informal yang masuk dalam sektor pengangguran terbuka pada Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung menurun, dimana TPT Februari 2014 sebesar 5,70% turun dari TPT Agustus 2013 sebesar 6,17% dan TPT Februari 2013 sebesar 5,82%.

Pada Februari 2014, TPT untuk pendidikan Sekolah Menengah Atas menempati posisi tertinggi yaitu sebesar 9,10% disusul oleh TPT Tukang Siomay, Sang Penyelamat “Menjadi pedagang siomay jelas bukan pilihan atuh Pak, tapi dari pada merutuki nasib, kantong kempes, lebih baik berkeliling cari uang,” kata Bang Mamat, pedagang siomay keliling di seputaran rumah. Sore itu di pos penjanggaan perumahaan, saya menikmati sepiring kecil jualannya.

Setiap hari Bang Mamat mendorong gerobak berkilokilo meter sembari suara nyaring kentungan kayu tak lupa dibunyikan dan sesekali ditambahi terikan ‘siomaysiomay.” “Saya kerja full, seminggu tujuh hari, istirahatnya kalau sudah capek saja,” lanjut Bang Mamat. Jika dipotong modal dan pengeluaran sehari hari, Mamat menyisakan laba dua jutaan sebulan. Kalau mau jujur, orangorang seperti Bang Mamat, pedagang bakso, tukang cukur, dan lainlain inilah yang paling mandiri di Negeri ini. Tanpa banyak bicara, mereka bergerak sendiri mencari rezekinya.

Sekolah Menengah Pertama sebesar 7,44%, sedangkan TPT terendah terdapat pada tingkat pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 3,69%. Jika dibandingkan keadaan Februari 2013, TPT pada semua tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali pada tingkat pendidikan SD ke bawah dan Diploma.

“Bang Mamat dulu sekolahnya apa?” “SD Pak, sempat masuk SMP tapi hanya sampai kelas 2,” jawab Mamat sembari mengelap peluh. “Kenapa, tidak ada biaya?” “Antara iya dan tidak Pak, sekolah di kampung tidak mahal, tapi rumah abdi mah di kampung sekali, 4 kilo jaraknya, trus musti nyeberang sungai kalau mau sekolah di SMP. Kalau di kampung adanya hanya SD saja atuh Pak.”

Berita Terkait

TERKINI