Skip to content

Tenaga Kerja Indonesia Masih Jauh Tertinggal

Facebook
WhatsApp
Twitter
Email
Print

Oleh: Ir. Fransiscus Go, SH (diambil dari buku “Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah”)

Beberapa perempuan dan laki-laki duduk di dalam gubuk di tengah sawah. Ada papan hitam bertuliskan beberapa huruf dengan menggunakan kapur putih. Lelaki berbaju putih membimbing mereka mengeja huruf-huruf itu.

“Jadi, mama-mama dan bapak-bapak, kalau kita nanti punya kemampuan untuk membaca, akan buat kita mudah mencari informasi soal pupuk, hama, dan lain-lain,” kata Amandus, si lelaki berbaju putih. “Kita punya padi dan jagung bisa bagus kalau kita bisa dapat banyak informasi untuk kasih rawat lebih baik,” lanjut Amandus.

Ini bukan pemandangan film, tetapi pemandangan sungguhan di salah satu sudut Kabupaten Kupang. Amandus adalah salah satu fasilitator yang ditugaskan sebuah LSM, untuk membantu petani meningkatkan upaya melek huruf. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, sebanyak 3,6 juta warga di Indonesia masih buta aksara. Mereka berada dalam kelompok usia 15 – 59 tahun.

Angka melek huruf memperlihatkan bagaimana kualitas pendidikan, yang menjadi salah satu aspek pertimbangan dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh Badan Pembangunan PBB UNDP. Aspek lainnya, meliputi aspek kesehatan, ketenagakerjaan, ekspektasi kehidupan, pendapatan masyarakat hingga kesetaraan gender. Dengan demikian, indeks ini juga menggambarkan kualitas tenaga kerja Indonesia.

Pada IPM 2013, Indonesia masih terpental jauh dari posisi 100 besar, nyungsep di peringkat 121 (0,629) dari 187 negara. Sebenarnya IPM Indonesia terkerek 3 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di urutan 124. Akan tetapi, tetap saja Indonesia masih berada di bawah negara-negara di Asia Timur dan Pasifik (0,683) dan masih di bawah rata-rata dunia (0,694). Dibanding negara Jiran, Singapura dan Malaysia, Indonesia jauh tertinggal. Kedua negara ini bertengger masing-masing di posisi 18 dan 64 dunia. Indonesia juga tertinggal, dibanding Thailand dan Filipina, yang berada di posisi 103 dan 114.

Melihat gambaran IPM Indonesia di kawasan ASEAN yang jeblok ini, percepatan program-program peningkatan SDM, khususnya tenaga kerja yang kompeten dan berkualitas mutlak dilakukan. Ketertinggalan Indonesia ini harus menjadi pelecut peningkatan kualitas tenaga kerja, agar Indonesia siap dan dapat bersaing dalam AEC 2015 mendatang.

Selain itu, daya saing dunia usaha/industri Indonesia rendah. Data Global Competitiveness Index (GCI) 2012-2013  menempatkan peringkat daya saing industri Indonesia melorot dari peringkat 46 ke peringkat 50. Ini disebabkan karena komponen-komponen yang mempengaruhi daya saing di Indonesia juga melorot, terutama komponen efisiensi seperti pendidikan dan pasar tenaga kerja.

Fakta-fakta tersebut mengharuskan adanya upaya terpadu dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia agar dapat berkontribusi bagi peningkatan daya saing industri Indonesia

Berita Terkait

TERKINI