Skip to content
Setengah Pekerja Hanya Lulusan Sekolah Dasar

Setengah Pekerja Hanya Lulusan Sekolah Dasar

Oleh: Ir. Fransiscus Go (diambil dari buku “Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah”)

Salah satu komponen penilaian daya saing industri Indonesia tampak dari dominasi lulusan tenaga kerja Indonesia saat ini. Bayangkan, hingga Februari 2014, tenaga kerja masih didominasi lulusan SD ke bawah, yaitu sebesar 57,43 juta orang (45,83%). Artinya, hampir separuh dari orang-orang yang bekerja hanya pernah berseragam merah putih. Lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengambil jatah 17,82% lapangan pekerjaan dengan jumlah pekerja 21,06 juta.

Lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) yang bekerja, sebesar 18,91 juta orang (16,00%) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 10,91 juta orang (9,23%). Penduduk bekerja yang berpendidikan tinggi hanya sekitar 11,98 juta orang, mencakup 3,13 juta orang (2,65%) berpendidikan Diploma dan 8,85 juta orang (7,49%) berpendidikan Bagaimana industri bisa efiesien dengan SDM yang hanya lulusan SD? Bagaimana mungkin para lulusan SD dapat bersaing dengan angkatan kerja yang lain?

“Sekarang ini lahan pekerjaan lulusan SD seperti saya sudah banyak yang dicaplok lulusan SMA,” kata Sukirno yang mengaku makin kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai buruh bangunan karena makin banyak yang berebut. Jadi, kalau tidak dapat kerja di proyek, terpaksa saya memulung untuk menyambung hidup,” lanjut Sukirno kemudian.

Dampak lain dari dominasi pekerja lulusan pendidikan rendah adalah dunia usaha (industri) kesulitan untuk meningkatkan efisiensi produksi/produktivitas perusahaannya. Jangankan tenaga kerja lulusan SD, lulusan pendidikan formal yang lebih tinggi di Indonesia pun masih dihadapkan berbagai kendala. Di antaranya, kurangnya link and match dengan kebutuhan industri.

Tenaga kerja ini memang memiliki kemampuan kognitif, namun minim pengalaman dan keahlian. Ini akibat pendidikan formal lebih suka menjejali siswa dengan teori yang kurang bisa diterapkan di dunia kerja. Nyata terlihat, dunia pendidikan dan industri belum terkoneksi dengan baik.

“Bidang tenaga kerja tidak bisa dilepaskan dari bidang pendidikan. Konsep link and match yang selalu diutarakan selama ini belum diimplementasikan dengan baik oleh sektor pendidikan,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Tenaga Kerja, Benny Soetrisno. SDM yang tersedia menurut KADIN, belum memiliki kompetensi apalagi sertifikasi. Alhasil industri harus menanggung biaya produksi lebih tinggi karena in-efisiensi tenaga kerja dan rendahnya produktivitas.

Kondisi ini diperparah dengan instruktur dan infrastruktur yang sangat terbatas. Praktis dunia usaha sulit untuk menggenjot kualitas tenaga kerja dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang kompeten. “Sudah tiga tahun saya sering kena semprot bos karena dianggap salah rekrut. Fresh graduate, IP tinggi, lulusan universitas ternama, jurusannya komunikasi, periklanan, cocok dengan kebutuhan perusahaan, tapi sampai bulan ketiga, bekerja membuat satu iklan sederhana saja belum bisa-bisa,” kata Niken, supervisor HRD sebuah perusahaan media.

“Jadi, bagaimana ini?” “Ya terpaksa berebut SDM yang sudah punya pengalaman, tapi ya

susah,” lanjut Niken lagi.

Ketika dunia usaha bangkit mengatasi ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas, mereka juga harus menghadapi birokrasi negara yang berbelit-belit dan cenderung mempersulit dunia usaha maupun tenaga kerja itu sendiri. Contoh yang paling sederhana adalah perbedaan pengakuan standar kompetensi perawat antara Kemenkes dan Kemenakertrans. Hal ini menimbulkan kesulitan, baik bagi dunia usaha pelayanan medis maupun tenaga keperawatan itu sendiri untuk mengembangkan kualitas tenaga kerja. Terlihat jelas, tidak ada koordinasi sinergis antarkementerian.

Pendek kata, kualitas tenaga kerja Indonesia membutuhkan banyak perhatian agar dapat digenjot dan memiliki daya saing di pasar kerja.  Finaly, kualitas tenaga kerja dan daya saing dunia usaha ini berdampak pada proses pembangunan nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *