Oleh: Fransiscus Go [diambil dari buku Jembatan Emas Angkatan Kerja Indonesia: Menyambut Bonus Demografi]
Rizal baru 18 tahun, putus sekolah selepas tamat SMP, berasal dari Sukabumi, dan sudah hampir tiga tahun berada di Jakarta. Dua tahun pertama Rizal mengayuh sepeda menjajakan jasa jahit keliling. Baru beberapa bulan lalu ia memulai profesi baru.
“Jualan batagor keliling mah ternyata sama saja ujungnya,” kata Rizal “Maksudnya?”
“Sekarang mulai sepi karena banyak pesaing dan mungkin orang sudah bosan makan batagor,” jawab Rizal sembari meminggirkan lagi gerobaknya
“Mau cari kerjaan lain?”
“Cari kerjaan apa? Siapa mau terima tamatan SMP atuh? Sarjana saja, saya dengar mah banyak yang nganggur. Tamatan SMP seperti saya ya pasti hanya bisa jualan atau jadi kuli bangunan.”
Rizal masih beruntung bisa bangkit dan punya usaha sendiri.
“Bukan usaha sendiri atuh, saya mah ambil batagor dari juragan batagor. Cuma ngejualin saja, setelah itu setor,” cerita Rizal sambil menambahkan saos dalam plastik batagor.
“Oooo, kirain usaha sendiri.”
“Bukan atuh, tak ada modal buat beli gerobak. Sebenarnya mah sama saja dengan buruh.”
“Berapa banyak lakunya?”
“Sekarang-sekarang ini? Kemarin laku setengahnya, saya dapat persenan 27 ribu, setelah seharian keliling Utan Kayu, Kayu Manis, Kramat Asem, mangkal di depan sekolah, lalu keliling lagi,” cerita Rizal.
Ternyata belum menjadi usaha sendiri. Apa mau dikata.
Rizal adalah gambaran sebagian kelompok angkatan muda yang hanya punya sedikit pilihan. Sebagai tamatan SMP, bagus ia masih menemukan celah penghasilan. Mengandalkan ijazah SMP atau bekal pendidikan formal di bangku sekolah selama 9 tahun jelas tak cukup untuk dijadikan modal mencari pekerjaan yang layak.
Padahal, negara yang kuat sangat bergantung pada angkatan mudanya. Itu sebabnya, negara-negara maju begitu memperhatikan prospek kehidupan angkatan muda, baik yang masih di bangku pendidikan maupun angkatan muda yang sedang mencari pekerjaan.
Angkatan muda adalah penentu kehidupan bangsa di masa kini maupun di masa depan. Negara tidak bisa bersikap pasif menyiapkan angkatan muda dalam proses penyelenggara kehidupan kenegaraan. Negara tak boleh membuat Rizal hanya mengandalkan hasil jualan batagor keliling dengan penghasilan bersih kurang dari 20 ribu sehari. Batagor boleh saja menjadi masa depan Rizal, tetapi hasilnya untuk ke depan harus jauh lebih baik. Angkatan muda, jika diberi tambahan keterampilan kerja khusus, seperti terampil melayani, terampil memasarkan, terampil mengolah bahan makanan, niscaya pendapatan mereka melebihi Rizal. Pasti Rizal pun akan tergerak untuk meningkatkan keterampilannya.
Angkatan kerja muda adalah kelompok usia yang sangat penting mendapat perhatian negara. Tanggung jawab negara terhadap angkatan muda dimulai dari proses pendidikan, hingga ketika mereka dalam posisi siap bekerja. Indonesia sangat tertinggal dalam menata konsep pendidikan dan masa depan angkatan mudanya. Dengan output pendidikan angkatan muda kita yang rata-rata lulusan SD dan SMP, apa yang bisa diharapkan? Celakanya, jumlahnya lebih dari separuh angkatan kerja yang tersedia atau angkatan kerja yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Artinya, ada jutaan angkatan muda seperti Rizal yang memaksa siap kerja tanpa modal skil dan pendidikan.
Ini memperlihatkan bahwa negara belum memiliki roadmap masa depan kaum muda yang dirancang sistematis dengan pencapaian yang dapat diukur. Sementara itu, di saat yang sama, negara tetangga melaju jauh lebih kencang. Angkatan kerja atau angkatan muda mereka rata-rata punya pendidikan tinggi. Padahal, tenaga kerja muda atau calon tenaga kerja muda kita yang kini masih duduk di bangku sekolah, setidaknya yakin, selepas menyelesaikan pendidikan, sudah ada lapangan kerja dan upah memadai menanti mereka.