Oleh: Ir. Fransiscus Go, SH (diambil dari buku “Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah”)
“Ini zamannya iptek, tetapi masih banyak pekerja kita yang belum mampu mengejar kemajuan iptek yang dibutuhkan industri. Mereka hanya mampu bekerja secara manual. Tak heran tenaga kerja kita selalu ketinggalan. Lha bagaimana kita bisa berinovasi?” kata seorang pengusaha manufaktur dalam sebuah pameran tenaga kerja.
“Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan untuk menggantikan posisi manusia sebagai pekerja, tetapi sebaliknya membantu manusia untuk bekerja. Ini yang salah satunya disebut memanusiakan pekerja,” lanjut sang pengusaha yang baru saja menjadi pembicara, kompetensi tenaga kerja yang masih jomplang dengan kebutuhan industri.
Ketidaktahuan atau ketidakpahaman tenaga kerja tentang IPTEK membuat industri mengeluarkan biaya tinggi untuk menghasilkan barang atau jasa. Tenaga kerja Indonesia yang pengetahuannya rendah akan ilmu teknologi hanya mampu membuat produk dengan cara yang sederhana atau tradisional.
Meskipun dilakukan dengan jumpalitan dan butuh waktu lama, hasilnya tetap begitu-begitu saja, tidak maksimal. Sebaliknya, dengan menggerakkan teknologi canggih, si tenaga kerja akan membuat kapasitas produksi berlipat dengan hasil sesuai standar. Nah, ketika biaya produksi tinggi, otomatis harga barang menjadi mahal.
Tingginya biaya produksi mengakibatkan hasil produksi Indonesia rendah dan sulit bersaing dengan produk negara lain. Ujungnya, lagi lagi pekerja yang juga bakal ketularan apes. Untuk itu, dunia usaha/industri berharap segera ada pembenahan dengan memperhatikan beberapa pokok persoalan terkait kualitas tenaga kerja, meliputi beberapa aspek berikut.
Akses Pendidikan yang Merata SD Negeri 1 Filial Girijagabaya, Kampung Sirnajaya, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Banten menyuguhkan potret buram negeri ini. Sekolah yang terdiri dari kelas 1 hingga kelas 4 itu, hanya terbuat dari bilik bambu, beratap rumbia, dan berlantaikan tanah. Bangunan seluas 4 x 6 meter itu harus disekat-sekat untuk menjadi kelas.
Padahal, dalam lima tahun terakhir, kita sudah dibuai oleh stabilnya pertumbuhan ekonomi nasional. Pada saat yang sama, kita juga disuguhi aturan penting tentang kewajiban pemerintah untuk menyediakan 20% dana pendidikan. Kombinasi keduanya semestinya bisa segera mengatasi terbatasnya akses pendidikan bagi warga negara Indonesia, seperti semakin berkurangnya angka partisipasi sekolah menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mahalnya biaya pendidikan ditambah beban ekonomi masyarakat, dan terbatasnya fasilitas sekolah di daerah.
Pendidikan diyakini sebagai faktor yang dapat menggenjot peningkatan kualitas tenaga kerja. Pembangunan di sektor pendidikan dengan fokus pada peningkatan pengembangan manusia, sebagaimana dikemukakan Theodore Schultz, akan berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk itu, akses warga negara terhadap pendidikan, termasuk pendidikan tinggi harus ditingkatkan, jika tenaga kerja Indonesia ingin bersaing dengan tenaga kerja dari negara maju. Sayangnya, pada saat yang sama, liberalisasi globalisasi ekonomi juga telah mecabik-cabik akses pendidikan murah.
Pendidikan tiba-tiba menjadi salah satu ajang bisnis paling laris. Komersialisasi pendidikan, terutama pendidikan tinggi menjadi begitu marak. Ketika pendidikan dijual dengan harga tinggi, otomatis memperkecil akses warga negara terhadap pendidikan tinggi. Untuk itu, pemerintah perlu mencermati dan menyikapinya secara kritis. Negara diminta segera hadir untuk mengatasi komersialisasi pendidikan, demi meningkatkan dan me mudahkan akses setiap warga negara terhadap pendidikan. Apalagi akses terhadap pendidikan telah menjadi mandat konstitusional yang harus dilaksanakan pemerintah.
Beberapa upaya memang sudah dilakukan pemerintah, antara lain dengan membuat kebijakan (UU Pendidikan Tinggi) yang memberikan kuota bagi warga miskin untuk kuliah di perguruan tinggi. Namun, upaya tersebut dirasa belum memadai. Pasalnya, urusan hitung menghitung jumlah orang miskin belum cukup akurat, ditambah lagi terlalu rendahnya penentuan kategori kemiskinan.
Benar, sesungguhnya dunia usaha/industri juga dapat mengambil peran untuk memperluas akses warga miskin memperoleh pendidikan. Pendidikan Ahli Teknik Industri Gajah Tunggal (PATIGAT) adalah salah satunya. Politeknik PATIGATmemberikan beasiswa secara penuh kepada semua mahasiswa sehingga mahasiswa tidak perlu membayar biaya pendidikan (gratis), bahkan mahasiswa mendapat fasilitas tambahan, seperti seragam, uang saku tiap bulan, dan kupon makan siang.
Selain itu, lulusan Politeknik PATIGAT dapat langsung bekerja di kelompok Perusahaan Gajah Tunggal. Akses pendidikan gratis juga tersalur melalui beasiswa lembaga pendidikan Sekolah Pelita Harapan/Universitas. Beasiswa itu diberikan kepada ribuan anak-anak kurang mampu, terlebih dari wilayah Indonesia Timur.
Tidak hanya Politeknik PATIGATdan Sekolah Pelita Harapan, beberapa perusahaan swasta lainnya juga memberikan beasiswa bagi warga miskin berprestasi agar dapat melanjutkan pendidikan. Terkadang, beasiswa bahkan menjadi bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. CSR Pertamina bidang Pendidikan dapat dijadikan contoh.
Salah satu BUMN paling kaya ini, membuka program Pertamina Scholarship (beasiswa) yang diberikan kepada 1.450 siswa di Jabodetabek, 300 mahasiswa diploma di Padang, Palembang, dan Solo, 10 siswa terbaik untuk menempuh pendidikan tinggi di ITB, dan 100 siswa Madrasah. Bukan hanya swasta yang telah membantu mewujudkan hak konstitusional warga negara untuk dapat mengkases pendidikan.
Ada banyak komunitas dan lembaga non-profit juga mulai membantu pemerintah. Sekolah untuk anak rimba, malah diinisiasi oleh aktivis. Adalah Butet Manurung yang rela hidup di hutan untuk mengenalkan huruf dan angka pada anak-anak rimba melalui Sokolah Rimba. Lalu pada Mei 2012, 350 anak rimba atau suku Anak Dalam dari kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, mengikuti sekolah kelas jauh yang dilakukan organisasi pemerhati orang rimba bersama pemerintah setempat.
Langkah lainnya juga dilakukan Dompet Dhuafa yang menye lenggarakan sekolah gratis bermutu bagi kelompok miskin yang berprestasi. Dompet Dhuafa yang mengusung nama SMART Ekselensia Indonesia ini, menyediakan sekolah tanpa bayar bagi mereka yang papa. Ini sekolah unggul, berasrama, dan akseleratif pertama di Indonesia. Sekolah ini adalah salah satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa, setingkat SMP dan SMA, khusus bagi siswa lulusan SD yang memiliki potensi intelektual tinggi, namun terbatas dalam hal finansial.