Oleh: Deni Gunawan
Provinsi Nusa Tenggara Timur, atau yang sering disebut Provinsi NTT, adalah salah satu dari 38 provinsi yang terhampar di Indonesia. Provinsi ini berlokasi di wilayah timur-selatan dan tenggara Indonesia. Dari segi administratif, Provinsi NTT terdiri dari 22 kabupaten dan kota yang tersebar di berbagai pulau.
Secara geografis, Provinsi NTT merupakan gugusan kepulauan yang terletak di bagian timur Indonesia, dipisahkan oleh lautan yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Provinsi ini memiliki sekitar 1.192 pulau, di mana sekitar 42 pulaunya dihuni oleh manusia. Di antara semua pulau ini, ada lima pulau yang terbesar, yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, Pulau Lembata, dan Pulau Alor.
Pada tahun 2020, penduduk Provinsi NTT mencapai sekitar 5.325.566 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata sekitar 111 jiwa per kilometer persegi. Provinsi ini memiliki potensi besar, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dari segi alam, wilayah NTT dikelilingi oleh laut dengan potensi kelautannya yang sangat kaya.
Banyak tempat yang berpotensi menjadi tujuan wisata yang dapat meningkatkan ekonomi penduduk, seperti Pulau Komodo, Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor), Bukit Pelangi di Kabupaten Sabu Raijua, dan lainnya. Selain itu, potensi dalam produksi tanaman seperti vanili, cengkeh, dan jagung dengan kualitas unggul juga dapat menjadi sumber ekonomi yang penting.
Dari segi sumber daya manusia, Provinsi NTT memiliki jumlah penduduk yang relatif besar dan usia kerja yang tinggi, yang dapat menjadi pendorong pembangunan di Provinsi NTT. Pada tahun 2022, menurut data BPS Provinsi Provinsi NTT terdapat sekitar 3.022.421 penduduk dengan usia kerja. Usia produktif sendiri berjumlah sekitar 1.571.859 jiwa. Potensi tersebut dapat berdampak positif apabila dikelola dengan baik dan tepat.
Namun, pada kenyataannya, situasinya tidak sesuai dengan harapan. Menurut data BPS tahun 2022, Provinsi NTT memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, mencapai 22,39%, yang jika dibandingkan dengan angka nasional, berada pada tingkat yang sangat rendah.
Selain itu, Provinsi NTT juga memiliki tingkat mutu pendidikan terendah di Indonesia. Hal ini terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi NTT yang berada pada peringkat ke-32 dari 34 provinsi yang ada (sebelum ada penambahan 4 provinsi baru di Papua), dengan IPM sebesar 63,13. Angka ini jauh di bawah angka IPM nasional yang mencapai 70,18. Laporan Kemendikbudristek tahun 2022 juga menunjukkan bahwa kemampuan literasi dan numerasi siswa SMA di Provinsi NTT masih rendah.
Gubernur Provinsi NTT, Viktor Laiskodat, bahkan mengakui bahwa siswa-siswa dari Provinsi NTT kesulitan untuk diterima di perguruan tinggi ternama di Indonesia, seperti UI, UGM, dan ITS. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa situasi ini disebabkan oleh alokasi anggaran pendidikan yang masih tergolong kecil.
Data BPS Provinsi NTT tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 24,96% penduduk berusia 10 tahun ke atas tidak pernah sekolah atau tidak menyelesaikan SD. Jumlah penduduk yang hanya berpendidikan SD mencapai 29,36%, sementara hanya sebagian kecil yang mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, Indeks Pendidikan Provinsi NTT sebesar 0,66, yang berarti berada dalam kategori sedang, tetapi masih di bawah rata-rata nasional.
Faktor rendahnya IPM di Provinsi NTT juga disebabkan oleh alokasi anggaran yang kurang memadai untuk pendidikan dan kesehatan. Sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai, terutama dalam hal fasilitas untuk bakat dan minat siswa, juga menjadi masalah serius. Bahkan, ada kasus di mana siswa SD Negeri di Kabupaten Sikka harus belajar di luar ruangan karena kekurangan ruang kelas.
Terkait dengan mutu pendidikan, masih banyak kelas di sekolah-sekolah Provinsi NTT yang rusak, dan banyak sekolah belum memenuhi standar yang ditetapkan. Berdasarkan Neraca Pendidikan Daerah (NPD) Kemdikbudristek pada 2021, total 47.832 kelas dalam kondisi rusak dan banyak sekolah yang belum terakreditasi atau terakreditasi C. Perpustakaan di sekolah juga sangat minim, mungkin karena infrastruktur fisik sekolah yang tidak memadai atau anggaran yang tidak mencukupi untuk membeli buku-buku.
Selain itu, mutu pendidikan juga dipengaruhi oleh kompetensi guru yang belum memadai. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Yohana Lisapaly, guru-guru di Provinsi NTT masih kurang kompeten, yang berdampak pada mutu pendidikan yang rendah.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi NTT, diperlukan upaya komprehensif yang mencakup aspek-aspek seperti jumlah sumber daya manusia, sarana prasarana, dan kualitas pendidikannya. Salah satu masalah adalah rendahnya upah atau gaji guru, yang sering kali jauh di bawah standar yang seharusnya mereka terima. Hal ini membuat banyak guru mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka, yang pada akhirnya mengurangi waktu yang mereka miliki untuk meningkatkan mutu mereka.
Jika dibandingkan dengan jam kerja, gaji atau upah yang diterima guru tentu sangat tidak layak. Misalnya, masih banyak guru honorer yang menerima gaji 200-750 ribu per bulan. Kondisi tersebut memaksa para guru honorer mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka. Mulai dari berjualan sampingan di pasar, ngojek, juru parkir, dsb. Pada akhirnya guru tak sempat lagi memiliki waktu untuk belajar atau sekadar meningkatkan kualitas mereka di rumah karena dihadapkan keadaan ekonomi domestik.
Dengan demikian, ada kebutuhan mendesak untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap pendidikan di Provinsi NTT, termasuk alokasi anggaran yang memadai, perbaikan sarana dan prasarana, serta peningkatan kualitas pendidik. Hal ini akan menjadi langkah penting untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi NTT.
Sumber: catatan Deni Gunawan, “Baku Jaga untuk Provinsi Selaksa Nusa”, Yogyakarta: Mata Kata Inpirasi, 2023.