Umat antar agama di daerah-daerah pedalaman di Pulau Buru, Maluku hidup dalam harmoni. Mereka saling menghargai dan menghormati sehingga kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh umat yang tidak seiman dengan mereka bisa berjalan tanpa gangguan.
Itulah yang dirasakan Ustaz Agus Salim, salah satu dari 500 dai yang dikirim oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama untuk berdakwah di Desa Waeleman, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, Maluku.
Pada 10 Maret 2024 lalu ia diminta untuk menyampaikan tausiah dalam kegiatan Persiapan Memasuki Ramadan yang dilaksanakan di Halaman Masjid Dusun Waengura Desa Wamana Baru, Kecamatan Fena Leisela, Kabupaten Buru itu. Pada kesempatan itu, Ustaz Agus menyampaikan materi tentang pentingnya toleransi dan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat.
Ia mengutip Surat Al-Mumtahanah Ayat 8: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
“Pengalaman saya diminta sebelum Ramadan untuk tausiah toleransi yang dihadiri pendeta, pastor, kepala desa, BPD, kepala suku yang masih non-Muslim. Mereka sangat menerima kehadiran dai ,” kata Ustaz Agus, Senin (25/3/2024).
Kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh umat dan tokoh umat Islam setempat seperti Agil Waemese (Kades Wamana Baru), Faldi Waemese (Sekdes Wamana Baru), Farid Waemese (Imam Masjid), Gusti Waemese (BKM Wamana Baru), dan lainnya, tetapi juga tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat non-Muslim seperti Luas Nacikit, Reing Nacikit, Robi Nacikit, Edi Waemese, Ranus Solisa, Seit Waemese, Al Umet Waemese, Ronir Waemese (Ketua BPD), Mimit Solisa (RW 04), dan Mani Ganti.
Kekurangan Dai
Ustaz yang aktif sebagai Pembina Muallaf dan Kemanusiaan Kabupaten Buru ini menuturkan, potensi berdakwah di Pulau Buru sangat besar karena ada banyak kampung mualaf yang membutuhkan pembinaan.
Menurutnya, hampir setiap malam ada undangan untuk datang ke kampung pribumi dan mualaf untuk berbuka puasa bersama sekaligus menyampaikan kultum Ramadan.
“Tantangannya adalah kurangnya sumber daya manusia (dai), terutama penduduk pribumi, dan tempatnya harus ditempuh jauh melewati hutan sehingga sering bermalam,” ceritanya.
Sebagai gambaran betapa jauh dan berlikunya lokasi dakwah di sana; Jakarta-Ambon memakan waktu dua jam dengan pesawat; Ambon-Pulau Buru (Namlea) membutuhkan waktu delapan jam dengan Kapal Fery; Namlea/ Pulau Buru- Waelata menghabiskan waktu tiga jam melewati pegunungan dengan mobil; Waelata ke Waeleman, desa lokasi membutuhkan waktu satu jam melewati hutan, jalan berlumpur, dan genangan air dengan ojek.
Untuk menyiasati tantangan itu, Ustaz Agus selalu melakukan pembinaan ketika ada undangan ke kampung mualaf, mengajak anak-anak di sana untuk belajar di pesantren, dan mendatangkan dai atau ustaz untuk mengajar dan melakukan pembinaan kepada masyarakat di sana. Ia mengaku selalu hadir setiap kali mendapatkan undangan dari masyarakat kampung mualaf.
“Minta tolong untuk menjemput saya sehingga tidak kata untuk tidak memenuhi undangan mereka,” tegas Penyuluh Agama Islam Non-PNS Kabupaten Buru ini.
Apresiasi Program Dai 3T Kemenag
Ustaz Agus berterima kasih kepada Kementrian Agama RI yang telah mengadakan Program Dai 3T karena program ini bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama dari sisi keagamaan. Menurutnya, masyarakat setempat sangat antusias dan merespons baik kehadiran dai 3T.
“Pengalaman saya luar biasa masyarakat mengaggap saya segala-galanya tempat pertanyaan, curhat dan lain-lain padahal saya tidak punya ilmu banyak,” katanya dengan rendah hati.
“Semoga ini menjadi amal jariyah bagi semua yang terlibat dalam terlaksananya Program Dai 3T,” lanjut Ustaz Agus.
Ia berharap Program Dai 3T bisa tetap berlanjut ke depannya, menjadi program tahunan, dan para dai yang dikirim bisa ditambah karena ada banyak daerah yang sangat membutuhkan kehadiran dai. Selain itu, ia mengusulkan agar waktu berdakwahnya diperpanjang hingga lebaran.*