Oleh: Fransiscus Go (diambil dari buku “Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah”)
Matahari siang itu bersinar garang, memberi terik di setiap sudut Ibu Kota. Jakarta macet total, terutama akses menuju stana negara. Hari itu para buruh tumpah ke jalan, Sebagian mengusung spanduk tuntutan kenaikan upah, ditingkahi orasi-orasi bermuatan sama. “Kami menolak kenaikan UMP (upah minimum provinsi) atau UMK (upah minimum kabupaten/kota) senilai inflasi plus 5% atau 10%. Kita para buruh berhak atas hidup yang layak,” seru sang orator ditimpa yel-yel puluhan ribu pendemo lainnya.
“Naikan upah!”
“Hidup buruh!”
Aksi serupa juga terjadi hampir di semua kota besar lainnya di tanah air. Demo masif dengan tuntutan senada menjadi agenda dalam hari buruh 1 Mei atau yang lebih populer dengan May day. Mereka menuntut kenaikah upah dan penghapusan sistem kerja kontrak serta alih daya atau yang lebih dikenal dengan outsourching. Inti dari semua seruan dalam demontrasi ini sama, menolak upah murah.
Para pekerja menolak kebijakan tenaga kerja murah yang dibalut dengan sistem kerja kontrak dan upah rendah. Dan setiap tahun, menjelang penentuan upah minimum provinsi (UMP), demonstrasi besar buruh selalu berulang. Tuntutan mereka tidak berubah, kenaikan upah. Bagi Yatmi, buruh pabrik sepatu di Bekasi, demo tahunan bukan sekadar tradisi pengingat bahwa mereka ada. Yatmi, seperti puluhan ribu buruh lainnya, turun ke jalan karena alasan mendasar. “Harga kebutuhan dasar naik terus, kalau upah segini gini aja maka penghasilan riil kami para buruh ya turun, kalah sama inflasi,” jelasnya. Karenanya, hari itu ia membiarkan tubuh mungilnya dibakar terik matahari dan suara menjadi serak untuk menyerukan tuntutan dan meneriakkan yel-yel.
“Buruh bersatu tak bisa dikalahkan, buruh bersatu tak bisa dikalahkan!”
Demonstrasi buruh yang terus berulang sudah pasti membawa kerugian bagi perusahaan. Roda produksi terpaksa berhenti karena buruh turun ke jalan. Hari itu di pabrik-pabrik, kebanyakan sunyi, hanya manajemen dan sejumlah tenaga pengamanan berjaga. Selain itu, lumpuhnya lalu lintas di beberapa ruas jalan Ibu Kota turut memberikan dampak tak langsung terhadap transportasi pendukung industri. Potensi kerugian itu semakin membesar jika demonstrasi berlangsung berhari-hari. Tak jarang demonstrasi berbuntut munculnya aksi kekerasan yang menimbulkan korban.
Buruh dan pengusaha seperti dua sisi mata uang. Selayaknya satu sama lain harus saling memahami kepentingan, peran, dan fungsinya masing-masing. Setelah buruh memahami potensi kerugian pengusaha akibat demonstrasi, pengusaha pun wajib memahami kerugian yang akan dialami buruh bila pada hari tersebut tidak ikut demonstrasi. Jika tidak ikut demonstrasi, mungkin upah buruh tidak akan naik selama satu tahun ke depan. Padahal, harga kebutuhan hidup terus merangsek naik. “Ya sama-samalah, sekarang ini biaya transportasi naik, harga kontrakan naik, harga sembako naik, biaya anak sekolah yang katanya gratis, nyatanya tetap masih harus beli buku, belum lagi bayar ongkos angkot,” tambah Yatmi sembari mengencangkan ikat kepala hitam bertuliskan tolak upah murah.
Di tengah penurunan daya saing industri yang terus berlanjut, kenaikan upah para buruh tentu akan memberatkan perusahaan. Upah sebagai komponen terbesar produksi, terutama untuk industri padat karya, kenaikannya tentu sangat memukul dunia usaha. Namun, di sisi lain, tuntutan buruh memiliki alasan yang masuk akal, di tengah makin beratnya kehidupan mereka akibat kenaikan harga-harga kebutuhan dasar yang telah terlebih dahulu diserahkan kepada mekanisme pasar oleh negara akibat desakan negara-negara maju dan lembaga bisnis bantuan internasional.
Akankah demonstrasi besar pekerja Indonesia akan terus berlanjut di masa-masa mendatang? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Jika kondisi kerja tidak nyaman dan kebijakan upah tenaga kerja murah lebih dipertahankan, ketimbang kebijakan tenaga kerja berkualitas, besar kemungkinan demonstrasi pekerja itu akan terus berlanjut. Bukan tidak mungkin makin membesar, jika demonstrasi besar kaum pekerja bersinergi dengan elemen masyarakat lainnya semisal mahasiswa.
Kondisi ini berpotensi terjadi bila kondisi perekonomian nasional mengalami goncangan hebat.
“Sekarang ini bukan masanya membungkam suara buruh. Kami berserikat dan aksi kami dibenarkan Undang-Undang. Kami juga tidak ingin membuat macet jalanan, apalagi rusuh. Kami hanya ingin didengar. Sekarang bagaimana kami bisa bekerja dengan baik dan memenuhi target perusahaan, kalau semua kebutuhan dasar tidak bisa dibayar?” lanjut Yatmi di tengah gemuruh yel-yel yang terus membelah jalan Thamrin, Jakarta.
Demonstrasi besar buruh sebenarnya tidak perlu terus berulang, bila pemerintah tidak menyerahkan semua kebutuhan dasar warganya, seperti pangan, air bersih, pendidikan, transportasi publik, perumahan pada mekanisme pasar secara total. Demonstrasi besar kaum buruh juga tidak perlu terus terjadi setiap tahun, bila buruh memiliki pemahaman mengenai risiko usaha, beban usaha, dan potensi kerugian perusahaan akibat dinamika ekonomi, baik tingkat nasional, regional, maupun
global.
Pemahaman mengenai risiko usaha, beban usaha, dan potensi kerugian perusahaan dapat dipahami, bila sejak dini ada kurikulum mengenai kewirausahaan di sekolah, sehingga ketika selesai sekolah dan masuk di dunia kerja, pemahaman itu sudah terbangun.
“Aduuh saya hanya tamatan SMP, seingat saya tidak ada pelajaran soal apa tadi, kewirausahaan? Tidak tahu anak-anak sekarang ya. Dulu ada pelajaran ekonomi-koperasi, disingkat ekop, tapi saya lupa apa isinya, hahahaha” kata Yatmi tertawa sambil menyelonjorkan kakinya. Beberapa teman buruh lainnya yang juga beristirahat, rata-rata menyebut tidak paham soal kewirausahaan, apalagi risiko usaha.
Sebetulnya pemahaman tersebut bisa dibangun dengan cara melibatkan buruh dalam pengambilan kebijakan perusahaan, melalui mekanisme kepemilikan saham perusahaan oleh kaum buruh. Melalui kepemilikan saham di perusahaan, buruh tidak hanya memiliki pemahaman mengenai risiko dan beban usaha, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan perusahaan.
“Jangankan dilibatkan, kebanyakan perusahaan tidak suka para buruhnya berserikat. Sebagian besar perusahaan tidak akan transparan terhadap kondisi keuangan, perkembangan usaha, dan lain-lain,” kali ini Dahlan Amir yang berbicara. Ia sebelumnya pernah “dirumahkan”oleh sebuah perusahaan asal Korea Selatan yang ditinggalkan pemiliknya begitu saja dengan alasan keuangan perusahaan buruk.
Skenario melibatkan buruh hanya dapat dilakukan bila didasarkan pada sebuah asumsi bahwa kondisi ekonomi nasional relatif baik dan stabil. Dengan empat paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas permasalahan ekonomi, pertumbuhan ekonomi masih terjaga pada tingkat yang realistis.
Indonesia hingga 2013, masih termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di kawasan, meski turun dari sebelumnya 5,78%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia itu ada dalam kisaran 6%. “Ekonomi Indonesia masih bagus dibandingkan beberapa negara lain. Banyak investor yang mau masuk. Jadi, buruh heran kenapa pengusaha selalu menyatakan tidak sanggup membayar upah yang lebih baik,” lanjut Dahlan.
Ketua Umum KADIN Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, mengatakan kondisi perekonomian yang baik mendukung pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, yaitu menurunnya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan disparitas pembangunan regional sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Bambang mengemukakan hal ini dalam Rapat Koordinasi Nasional Gabungan Bidang Tenaga Kerja dan Bidang Pendidikan-Kesehatan, di Semarang