Oleh: Fransiscus Go dan Hani Subagio [diambil dari buku Mengakhiri Era Tenaga Kerja Murah]
Istilah daya saing lantas melekat begitu erat sebagai konsekuensi globalisasi. Layaknya udara bersih dari polusi untuk bernafas secara baik, daya saing adalah syarat mutlak di era globalisasi. Daya industri pun menjadi salah satu unsur penentu keberhasilan pembangunan suatu negara. Daya saing dan daya industri suatu negara yang semakin baik, akan berpengaruh positif terhadap beberapa indikator ekonomi, seperti kinerja produksi dan kinerja perdagangan.
Namun, sangat disayangkan, Indonesia belum berada pada titik mampu berdaya saing. Faktor utama sebagai penyebab adalah kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang rata-rata belum memiliki latar pendidikan dan keahlian yang cukup. Dalam konsep pasar kerja bebas, Mr. Jhons dari Amerika Serikat dan Paijo dari Kebumen, sama-sama bisa mencari rejeki di Jakarta atau di Surabaya, tetapi yang menjadi masalah adalah Mr. Jhons lulusan universitas dan berkeahlian, sedangkan Paijo hanya lulusan SMA.
Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2014 berikut, dapat memberi potret mengenai hal itu. Angkatan kerja Indonesia didominasi kelompok berpendidikan rendah. Ada 57,43 juta tenaga kerja (45,83%) yang hanya lulus Sekolah Dasar. Jumlah ini adalah hampir separuh dari total tenaga kerja negeri ini. Selanjutnya, sebanyak 22,74 juta (18,16%) tenaga kerja hanya punya ijazah SMP, sedangkan di level abu-abu putih atau lulusan SMA sebanyak 20,80 juta orang (16,60%), ditambah 11,76 juta orang (5,38%) mengantungi ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Bagaimana dengan bangku kuliah? Level diploma berjumlah 3,33 juta lulusan (2,65%), sementara strata satu berjumlah 9,25 juta orang (7,63%).
Jika demikian, rata-rata pekerjaan seperti apa yang dapat diperoleh 82,1 juta pekerja yang hanya pernah memakai seragam putih merah (lulusan Sekolah Dasar)? Mereka hanya mampu mendukung sektor padat karya. Padahal, sektor industri padat karya memiliki konstribusi yang rendah terhadap pertumbuhan. Mereka adalah buruh pabrik, buruh perkebunan, pekerja domestik, dan perkerja informal lainnya.
Jika dilihat dari lapangan kerja utamanya, konsentrasi angkatan kerja Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja dari sektor pertanian. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2014, konsentrasi tenaga kerja di bidang pertanian mencapai 40,83 juta orang (34.36%) dari total angkatan kerja. Sektor perdagangan dihuni 25,81 juta orang (21,43%) pekerja, sektor jasa kemasyarakatan ditempati 18,48 juta orang (16,43%) pekerja, sektor industri 15,39 juta orang (13,43%) pekerja, dan 1,93 juta orang (1,50%) sisanya adalah pekerja sektor-sektor lainnya.
Sektor pertanian yang menyerap sekitar 34,46% pekerja, hanya mampu memberi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 22,70%. Tentu saja ada banyak faktor yang menjadi penyebab.
Teknologi pertanian, terutama di level akar rumput di wilayah terpencil, masih mengandalkan cangkul ketimbang traktor. Dahlan Amri, seorang petani asal Muaro Jambi, selama belasan tahun menanam padi hanya berharap pada hujan sebagai sumber pengairan. Di tempat yang lebih maju, ketika traktor sudah banyak berkeliaran di petak-petak sawah, kelangkaan pupuk datang menghadang.
Sebaliknya, sektor industri pengolahan yang menempati urutan keempat dalam jumlah angkatan kerja, ternyata menjadi sektor dengan sumbangan PDB terbesar dibandingkan sektor lainnya, yaitu sekitar 25,36%. Boleh dibilang produktivitas yang disumbangkan tenaga kerja di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas yang disumbangkan tenaga kerja di sektor industri.
Jadi, berkaca pada kondisi angkatan kerja Indonesia saat ini, akan lebih sesuai jika tenaga kerja diarahkan ke sektor industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustri). Penelitian yang dilakukan D.S. Priyarsono, Arief Daryanto, dan Lena Herliana, “Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?” Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi,” dalam Agro Ekonomika No. 1 Tahun XXXV April menyimpulkan, perkembangan sektor pertanian dapat dipacu berbarengan dengan pembangunan industri pengolahan. Istilah populernya adalah membangun strategi agroindustrialisasi. Hasil perkawinan antara industri dan agro inilah yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas.
Akan tetapi, tetap saja banyak yang mengaitkan urusan tinggi rendahnya produktivitas dengan tingkat pendidikan. Dalam tugas akhir perkuliahan berjudul “Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada PT Telkom Indonesia, Tbk”, Ravianto menyimpulkan, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat produktivitas yang dapat dicapai. Intinya, makin berpendidikan makin produktif. Rumusan Riavianto ini juga berlaku sebaliknya. Pendidikan dan pelatihan dapat menambah pengetahuan dan keterampilan kerja. Pengetahuan dan keterampilan ini membekali pekerja agar bekerja lebih efektif dan efisien sehingga disebut produktif.
Selanjutnya, The Kian Wie menyatakan, kemampuan membaca dan menulis sebagai dasar pendidikan menjadi salah satu elemen penting dalam tahap awal program industrialisasi. Pada tingkat industri yang lebih tinggi membutuhkan keterampilan yang lebih maju, berarti membutuhkan tenaga kerja terampil. Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa pendidikan, sekolah atau pelatihan adalah peletak dasar dimulainya industrialisasi.