oleh: Fransiscus Go
Generasi muda memiliki harta berharga, yaitu kemudaan itu sendiri. Dalam kemudaannya, kaum muda berjuang menggapai asa dan cita-cita. Tidak mudah untuk berjuang. Dibutuhkan daya tahan dan militansi, sehingga pelan tapi pasti, harapan baik segera terwujud. Akhir-akhir ini, giat dibicarakan tentang model pendampingan bagi kaum muda, generasi milenial atau gen-Z, dengan segala keunikan dan dinamikanya. Bagaimana meraih kualitas unggul dari kaum muda di tengah tantangannya di zaman sekarang?
Pendampingan Humanis
Mendampingi kaum muda merupakan tugas generasi sebelumnya yang sudah lebih berpengalaman, dengan lain perkataan “sudah makan lebih banyak asam garam”. Pola asuh seperti apa dengan demikian menjadi penting untuk diterapkan, berdasarkan konteks dan latar belakang situasi sekarang ini. Situasi memengaruhi diri, mental dan jiwa semua orang, termasuk kaum muda di dalamnya. Kendati generasi sebelumnya sudah berpengalaman, posisi seperti apa kiranya tepat untuk dapat merangkul kaum muda, sehingga merasa dimanusiakan dan sungguh didampingi dengan tulus?
Generasi muda dipersiapkan untuk dapat meneladani hal baik dari generasi sebelumnya. Apa yang berkualitas, bermutu tinggi dan mentalitas baja yang diajarkan oleh orang tua selaku mentor, bisa digali sedemikian rupa, sehingga menjadi bekal untuk kualitas diri yang lebih baik. Nyatanya, tidak selalu perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi menyuratkan secara pasti peningkatan kualitas. Kualitas selalu didapat dari kerja keras dan cerdas, sebuah usaha untuk “melawan diri” dan kemalasan, sebuah perang dalam batin, kehendak baik yang menang atas kehendak buruk, pertarungan rasionalitas dan hati.
Mendampingi kaum muda dengan demikian bukan hanya mentoring dalam arti mengajarkan keterampilan dan keahlian. Lebih dari itu, generasi muda didampingi jiwa dan semangatnya. Mendampingi jiwa dan semangat kaum muda ringkasnya harus secara humanis. Mentalitas dibangun dari semangat persaudaraan dan kesetiakawanan. Ketika sudah merasa dekat dan berkawan baik, pendampingan bisa dimulai untuk tujuan yang berkelanjutan. Semua dimulai dari disposisi batin yang dilandasi kesalingmengertian dan peduli.
Pentingnya mentalitas di dunia kerja tidak dapat disangkal. Ketika terjun ke dunia kerja dan lapangan, perlu dilakukan penyesuaian dan perimbangan antara apa yang ideal dan apa yang real. Pola asuh generasi muda dengan begitu mengindikasikan pula penyadaran bahwa hidup harus seimbang antara hak dan kewajiban, antara ide dan kenyataan, antara impian dan langkah konkret. Dunia usaha pun kemudian menjadi sedikit moderat mengambil langkah perubahan pola orientasi masa dan pola kerja generasi muda dengan semakin lihai melakukan pola pendampingan dan pengasuhan.
Kecenderungan untuk manja dan mudah mengambil keputusan untuk berhenti bekerja, kurang giat dan lemah semangat dalam bekerja bisa diantisipasi dengan pola mentoring yang sesuai. Perusahaan seyogyanya bisa melihat hal itu dan melakukan manajemen sumber daya manusia berdasarkan perubahan jaman ini. Lembaga-lembaga penyedia jasa tenaga kerja juga ditantang untuk makin jenius mempersiapkan, membina dan lantas menyalurkan bukan hanya tenaga terampil, tetapi pekerja muda yang bermentalitas baik. Jika mentalnya baik, kejiwaannya terjaga, dipastikan pekerjaannya pun akan konstan dan ajeg, tidak mudah terombang ambing, tidak mengikuti mood semata, melainkan sungguh dari hati. Sekali lagi, disposisi batin dalam bekerja sungguh memengaruhi kebetahan kerja dan rasa nyaman seseorang.
Hal ini penting untuk menghadapi ambivalensi dunia kerja. Di satu sisi kerja itu sungguh manusiawi dan hanya mereka yang bekerja bisa disebut manusia, artinya identitas dan hakikat diri manusia ialah bekerja. Dengan bekerja, manusia menikmati hasil usahanya, namun di sisi lain untuk itu dia mesti berjerih lelah. Di sinilah kemudian dibutuhkan mentalitas yang baik untuk bisa mengerti bahwa hanya dengan berusaha maka manusia memeroleh kesejahteraan hidup. Ini semua bisa dan efektif dibina dengan pendampingan berkelanjutan, bukan hanya training sesaat tanpa evaluasi dan ujung pangkal. Training demikian akan segera dilupakan setelah acara berakhir.
Pola yang bisa diterapkan oleh mentor ialah menguji sikap kritis dan kesetiaan kaum muda dengan tantangan yang menarik. Tantangan itu bukan pekerjaan yang dipaksakan, karena jelas itu tidak disukai generasi sekarang ini. Tidak bisa pula suasana kantor dipenuhi dengan tekanan, namun dibuat nyaman senyaman Kantin Kendal di Jl. Kendal 1 Menteng misalnya. Ketika sudah nyaman dan merasa aman, dilindungi dan dipelihara, disposisi batin akan baik pula. Sebaliknya lingkungan yang beracun (toxic) tidak akan membuat karyawan bertahan lama. Orang bisa silih berganti datang dan pergi dan bisa dicari. Itu hanya karena saling butuh pekerjaan, transaksional, bukan sebuah relasi yang mendalam untuk mengisi hidup secara berkualitas. Tekanan yang tidak perlu dalam pekerjaan sedapat mungkin diminimalisir dan perlakuan humanis antar lini di atas segalanya. Jika sudah demikian, tantangan yang menarik bisa diberi dengan mengedepankan transparansi dan ketepatan waktu.
Bagaikan dalam permainan game tembak-tembakan, tujuan bisa dicapai dengan cara dan metode yang mengasyikan. Pekerjaan menjadi hutan petualangan yang asyik, ketimbang rimba berbahaya yang bisa memerangkap sang petualang. Proyek-proyek sederhana dikembangkan dalam hutan itu, yang tak lain adalah dunia dan tempat kerja, dengan prinsip-prinsip humanis di atas. Berikutnya tentu yang akan didapat ialah solusi aktif namun tetap fleksibel dalam menganalisa dan memecahkan suatu masalah.
Perusahaan-perusahaan dan pemerintah diundang untuk menerapkan prinsip ini dan mari kita lihat dahsyatnya efek mentorship semacam ini untuk signifikansi bisnis dan roda perekonomian. LIhatlah start up-start up yang maju pesat dan baik dalam pengembangan human resource saat ini.